Dhiana Puspita (2017, hlm. 65) menambahkan, bahwa konsep ZEE merupakan kompromi antara negara pantai dan negara tidak berpantai:
“Konsep ZEE dapat dikatakan sebagai salah satu contoh kompromi antara negara pantai (coastal states), yang sangat berkepentingan untuk memperpanjang yurisdiksinya, dan negara tidak berpantai (land-locked states), yang menganggap konsep negara kepulauan mengurangi wilayah laut bebas yang terbuka bagi seluruh negara. Oleh karena itu, bukanlah suatu kewajiban bagi negara pantai untuk mengajukan klaim atas wilayah ZEEnya.”
Menurut Djalal (2019), ratifikasi UNCLOS oleh Indonesia menjadi tonggak penting dalam pengakuan internasional atas konsep Wawasan Nusantara yang telah diperjuangkan sejak Deklarasi Djuanda 1957. Artinya, ZEE tidak hanya bersifat ekonomi, tetapi juga simbol kedaulatan dan integritas teritorial bangsa.
Pelaksanaan ZEE di Indonesia diatur melalui UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, yang menegaskan hak eksklusif Indonesia atas sumber daya alam di laut, sekaligus kewajiban untuk melindunginya. Namun, menurut Susilowati (2020), penegakan hukum ZEE masih menghadapi kendala akibat keterbatasan armada patroli, tumpang tindih kewenangan antar lembaga, dan lemahnya koordinasi antara aparat penegak hukum laut.
UU No. 32 Tahun 2014 tentang Kelautan memperkuat struktur hukum kelautan nasional dan memperjelas peran Badan Keamanan Laut (Bakamla) sebagai institusi pengawas keamanan laut. Nurhadi (2021) menekankan bahwa efektivitas Bakamla perlu diperkuat, terutama dalam sinergi dengan TNI AL dan Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Lebih lanjut, Anita Dian Eka Kusuma & Akbar Kurnia Putra (2024) menekankan prinsip tanggung jawab negara pantai terhadap lingkungan laut:
“The principle of foreseeability of harm emphasizes that the party responsible for the action must be able to estimate or understand the possibility of damage or danger resulting from their actions. The precautionary approach underscores the importance of taking preventive actions to mitigate risks to the environment and human health, particularly when scientific uncertainty exists about the potential adverse impacts.”
Hal ini menunjukkan bahwa UNCLOS 1982 menekankan hak berdaulat sekaligus kewajiban untuk melindungi lingkungan laut dan mengelola sumber daya secara berkelanjutan.
Dikdik Mohammad Sodik (2011, hlm. 81) menambahkan terkait hak negara lain di ZEE:
“Ada pun hak-hak negara lain yang dijamin oleh ketentuan Pasal 58 ayat 1 adalah kebebasan untuk berlayar di zona ekonomi eksklusif, dan terbang di atasnya dan memasang kabel serta saluran-saluran pipa di bawah permukaan laut. Sehubungan dengan ketentuan ini, maka yang perlu dipersoalkan adalah apakah kebebasan tersebut mencakup pula kebebasan bagi kapal asing untuk melakukan kegiatan militer dan pengumpulan data intelejen di zona ekonomi eksklusif.”
Tantangan Penegakan Hukum di ZEE Indonesia