"Aaa ...." Aku berteriak sangat kencang sampai-sampai orang-orang yang awalnya tengah sibuk dengan aktivitas masing-masing datang menghampiriku. Aku menutup kedua mataku, tak berani melihat pemandangan yang ada di depanku saat ini. Bagaimana tidak, di dalam kamar sana ada Nana yang tubuhnya tergantung tak berdaya di depan jendela. Lidahnya terjulur, matanya melotot menyeramkan. Orang-orang di sekitarku sibuk berbisik, menggunjingkan Nana yang memilih mati konyol di usia muda. Tak lama kemudian, datanglah Bang Heri dan Bang Roy, meminta kami memberi jalan, dan dengan sigap mereka mengurusi jasad Nana. Tak ada polisi, tak ada warga sekitar yang tahu. Selalu seperti itu. Ini adalah rahasia kami, warga lokalisasi yang terpaksa pasrah dengan keadaan, orang-orang yang terjebak dalam lingkaran setan yang entah akan berakhir kapan.
Bang Heri dan Bang Roy segera membawa Nana ke tempat biasa mereka mengurusi orang-orang yang mati konyol di lokalisasi. Kamar tempat Nana gantung diri tadi segera dibersihkan. Dibuat seolah tak terjadi apa-apa. Orang-orang pun kembali beraktivitas seperti biasa: bersolek, memutar musik keras-keras, dan kembali menerima tamu. Mami Rina--bos kami--datang memberi instruksi supaya kami tetap bersikap biasa saja, buat para tamu merasa aman dan nyaman berada di sini.
"Merlin, kau dandan yang cantik, ya. Nanti sore ada tamu spesial untukmu," kata Mami Rina padaku. Aku hanya bisa mengangguk, lantas memijit kepalaku yang terasa sangat pusing. Sejenak aku menghela napas panjang, sampai kapan aku akan seperti ini? Aku tak mau bernasib seperti Nana. Kemarin-kemarin dia bercerita padaku, dia terjangkit HIV, entah siapa yang menularkannya. Nana frustrasi. Dia merasa bahwa dunianya sudah kiamat. Pihak lokalisasi tentu saja akan membuangnya ketika keberadaannya di sini sudah tak lagi berguna. Keluarganya? Nana hanya punya abangnya yang biadab, yang dulu tega membuangnya ke sini.
Bukan hanya penyakit menular seksual yang membayangi kami di sini. Lebih dari itu. Mental kami ditekan sampai lemah. Fisik kami disiksa hingga tak berdaya. Belum lagi tekanan dari sesama kami yang iri. Maka tak heran jika ada banyak orang yang akhirnya memilih mati sia-sia.
//
Aku sudah berdandan demikian cantik, pakaianku pun tak kalah menggoda. Namun, tamuku sore ini malah sibuk dengan buku dan laptopnya. Beberapa kali aku mencoba merayunya, tapi yang dia katakan hanya 'sebentar dan sebentar', bahkan tanpa berminat melirikku barang sedikit pun. Baru kali ini ada yang menolakku, Merlin si bintang PSK di Jalan Gede. Sebenarnya aku sama sekali tak masalah jika dia mengacuhkanku. Aku hanya akan berpikir, mungkin dia adalah pria dengan kelainan seksual sehingga dia tak tertarik padaku. Atau mungkin dia adalah pria gabut yang ingin bekerja dengan suasana yang berbeda. Ah, sayang sekali. Biaya sewaku lima juta per jam dan sudah setengah jam yang dia lewatkan denganku tanpa apa-apa. Jika aku boleh memberinya saran, maka aku akan mengatakan supaya dia menyumbangkan uangnya pada orang-orang yang lebih membutuhkan. Duhai, di luaran sana masih banyak sekali orang-orang miskin yang kelaparan.
Aku memutuskan untuk tidur sebentar. Ngantuk juga lama-lama bengong. Namun, tiba-tiba ... "Woy, jangan tidur dong lo. Gue bayar lo mahal-mahal bukan buat tidur, ya." Pria itu mulai bersuara.
Aku mendelik. "Siapa suruh lo nyuekin gue."
"Lo ga liat dari tadi gue sibuk?"
"Terus mau lo sekarang apa?" Sorot mataku mulai menggodanya, tapi pria itu malah menghindar. Dia tampak tidak nyaman dengan sentuhanku.
"Jangan deket-deket." Aku melongo keheranan. Baru kali ini ada yang menolakku. Normal enggak, sih, pria ini?