Mohon tunggu...
Ishak R. Boufakar
Ishak R. Boufakar Mohon Tunggu... Pegiat Literasi -PI -

Pegiat Literasi Paradigma Institute Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat dari Desa untuk Pahlawan

18 November 2017   19:51 Diperbarui: 18 November 2017   20:03 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

Mulutnya bau kebohongan, doa yang ditumbuh kembangkan adalah gugusan kutukan yang abadi. Begitujuga, tangan mereka yang zalim menabur bunga. Sepenuhnya beraroma keringat, airmata, dan darah rakyatnya sendiri. Jika tidak berlebihan, "pejabat negeri ini, taklebih dari kumpulan orang-orang pendir yang lalai. Semeskinya dilihat sebagai pelaku tindak kriminal,"---perihal ini yang meski kukabarkan, di tubuh surat ini. 

Satu dari sekian kekhawatiranmu, yaitu kehidupan orang Desa, kelak. Orang Desa absen dari nalar pejabat negeri ini. Padahal, orang Desa adalah museum leluhur. Perjuangan membebaskan orang Desa dari penjajahan, penindasan, dan eksploitasi adalah buah dari sejarah perjuangan bangsa. Menilik sejarah orang Desa adalah sejarah pemerasan. 

Seolah-olah potret orang Desa tersaji dari pemerasan airmata dan darah. Apakah tanpa pemerasan airmata dan darah, sejarah tidak lahir? Apa benar, "Hidup adalah kesengsaraan dan manusia tidak dapat menghindarinya?" kata sang Budha. 

Saya tumbuh besar di desa, dalam peluk hangat orang Desa. Ayahku kerap berkata: "Orang Desa tersenyum, kala leluhur negeri ini masih hidup. Kini mereka telah tiada. Senyum orang Desa pun memudar. Orang Desa tak sanggup bermimpi. Entah, kepada siapa mimpi itu, diharap? Pejabat negeri ini, bungkam dengan jeritan orang Desa. 

Bungkam dengan jeritan pohon-pohon, yang takhenti dari gemuruh gergaji. Bungkam dengan jeritan lahan-lahan yang telah dibabat habis. Demi nasib perkebunan dan industrialis kaum kapitalis. Bungkam dengan jeritan suara burung kakatua, cendrawasih, krisis akan huniannya. Bungkam dengan jeritan nasib tanah adat, cagar budaya, cagar alam, hutan konservasi, hutan produksi, tak tahu wujudnya di lembaran hukum agraria. Bungkam dengan jeritan para nelayan. 

Barangkali perubahan hanya milik orang Kota? Yang kehidupannya serba-serbi lengkap; elit, pejabat, pengusaha, cendikiawan, aktivis, dokter, dan guru. Semuanya tinggal di kota. Pembangunan pun masih difokuskan di kota. Padahal kehidupan mereka jauh lebih baik. Sungguh miris, di desa terpencil, guru, dokter, takut bermukim di desa. 

Rumah sakit dan sekolah, jauh dari kata spesialis menyembuhkan dan mendidik. Apakah pejabat negeri ini lupa dengan kami yang tinggal di desa? Ataukah mereka sibuk dengan akumulasi kekayaan alam desa? Segala kekayaan; emas,minyak bumi, nikel, batubara, dan gas. Semuanya dirampas dari desa kami. 

Pejabat negeri ini, semeskinya bertanggung jawab dihadapan Tuhan, leluhur negeri, dan generasi mendatang. Saatnya pula, mereka belajar mencintai dan belajar melindungi rakyat kecil, tanpa embel-embel ideologis. Apalagi politik. Belajar dan menggali lebih dalam tentang Pancasila, satu dariwarisan leluhur negeri. Adalah Pancasila---representasi nilai-nilai kehidupan, digali dari kebiasaan hidup orang Desa. Dari merekalah, Nusantara disatu. Meski berbeda secara budaya, etnis, bahasa, dan agama. 

Namun, sebuah firasat besar mendobrak: " Bhinneka Tunggal Ika" semacam simpul pemersatu. Akhirnya, Bangsa ini dibentuk bukan lagi melindungi mayoritas atau melindungi minoritas. Tetapi, melindungi seluruh segenap bangsa Indonesia. 

Syahdan. Di akhir surat ini, kukirimkan dikau puisi---sesari doa-doa orang desa: 

Tujuh puluh dua tahun,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun