Mohon tunggu...
Ishak R. Boufakar
Ishak R. Boufakar Mohon Tunggu... Pegiat Literasi -PI -

Pegiat Literasi Paradigma Institute Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Surat dari Desa untuk Pahlawan

18 November 2017   19:51 Diperbarui: 18 November 2017   20:03 484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumentasi Pribadi

kami cuma tulang-tulang berseraka...

...jiwa kami melayang untuk kemerdekaan 

kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa ---Chairil Anwar, Sajak Kerawang Bekasi

Di tubuh surat ini, kunyatakan segala kekaguman milikmu. Kau yang tulangmu berseraka, adalah Manusia Ideal. Tanpa keraguan sedikitpun, tentang kataku. Kesadaran penuh, kau bangkit merubah keadaan. Dengan nyawa ataupun kematian kau membayarnya, lunas. Sungguh! kaulah manusia pilihan, hidup di tengah-tengah "manusia kebanyakan". Di waktu nun singkat, tunai sudah tanggungjawabmu sebagai manusia. Satu daritugas mulia, harap langit. 

Kepahlawanan adalah bukti kecintaan. Chairil Anwar, memapar dalam puisinya; "Kami cuma tulang-tulang berseraka, jiwa kami melayang untuk kemerdekaan. Sudah barangtentu, membincang cinta, sama halnya membincang kesetiaan pengorbanan. "Cinta adalah perihal memberi, bukan mengambil ataupun merampas. 

Cinta memilih dirinya mati, agar yang lain hidup. Agar suatu cita-cita menang, agar suatu impian menjadi kenyataan." Kira-kira begitulah pendakuan Ali Syarati, Sosolog dan arsitek revolusi Islam Iran. Di makam ini, pahlawan adalah pecinta sejati. 

Dapat dipasti, bahwa, tatkala dahaga, lapar, haus, perih, dan luka melebur menjadi satu di tubuh, kalian memilih bungkam, sembunyi pelbagai sakit. Tenimbang mengumbar, pangkalnya menghimpun iba, atas diri. Tentu, bukanlah ciri seorang pahlawan. Semua ini, hanya satu harap menguat baja---kelak, taklagi ada airmata ataupun darah, melainkan bersemayam senyum di angkasa Nusantara. 

Dari Sabang sampai Merauke, entah berapa banyak pusaramu---pahlawan? Selayaknya, di hari sepuluh, bulan November, meski disepakati sebagai ritus yang dikultus. Tentang nilai, perjuangan, kesetiaan, cinta, dan pengorbanan---dengannya kami petik, jadilah lakon hidup dan tindak. Taklagi ada pijakan ketauladanan di negeri ini, selain pada dirimu."...Kemenangan dan harapan atau tidak untuk apa-apa". 

Adalah setumpuk ciri yang mengakar. Pahlawan, seorang yang rela mengorbankan jiwa serta raganya. Jelas bahwa, sejarah telah mengajarkan kepada kita; bahwa di masa silam, siapa pahlawan? Siapa pecundang? Sejarah merekam track record orang besar, penutur di masa datang, tentang kebenaran di masa silam. Kelak sejarah dipolitisasi, mereka yang rendah secara pengetahuan dan moral. 

Maka tugas kita, kembali menjernikan sejarah yang telah tercemar. Sebab, sebaik-baiknya generasi, menurut pendakuan Maxim Gorki; The people must know their history---setiap orang harus tahu tentang sejarahnya. 

Kutulis surat ini, hendak bermaksud, pengganti ziarahku. Apalah daya, jarak merentang, menentang sua. Wahai yang mengorban jiwanya, kuingin surat---sesari doa, sampai ke pusaramu, sebelum pagi membuka mata. Ataupun, para pejabat negeri datang berziarah, yang sesungguhnya, memanjatkan doa-doa paling sial. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun