Mohon tunggu...
Ishak R. Boufakar
Ishak R. Boufakar Mohon Tunggu...

Pegiat Literasi Paradigma Institute Makassar

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tuhan dalam Narasi Anak-anak

9 Januari 2017   10:52 Diperbarui: 1 April 2017   08:56 631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
andk666.wordpress.com

Dari balik jendela yang pecah kaca. Ia layangkan pandangan sejauh mungkin, yang sepenuhnya serupa bentang lamunan. Ia tergeming di jendela yang dipenuhi ukir jaring laba-laba.

Dirinya memang seorang bocah. Tetapi, alam pikirnya melebihi anak-anak seusia. Ia begitu cepat tanggap. Bahkan, tak tanggung-tanggung menghafal tiap kalimat dari dongeng yang ditumbuhkan ibunya di tepian malam. Mahluk ajaib, kerap disematkan pada dirinya.

“Diriku laksana seekor burung gereja yang murung. Sial nian hari ini. Daku terkungkung. Tatkala, hujan begitu bergeliat berdendang di taman, membikin mawar bersorak-sorai,” gadis mungil itu membanti.

Andai saja, demam tak memeluk tubuhnya, sedari malam. Barangkali, saat ini, payung jingganya begitu basah, tangan mungilnya dipenuhi becek, ataupun menari bertelanjang tubuh, begitu kuyup di bawah kolong langit, yang ditumpahi hujan.

Bocah itu kembali mengingat perkatan guru mengajinya, di suatu sore: Bahwa, langit memang penyampai pesan yang baik. Toh, setumpuk awan yang berarak tebal kehitaman, menggeliat menupahi bulir berkah yang hijau di atas jidat bumi. Rindu sang langit pada kekasihnya bumi, terbayar lunas. Di sana-sini akar tumbuhan bersorak-sorai. Kendati begitu ringkih, ia masih membisu di jendela itu.

Di ambang pintu kamar. Langkah kaki perempuan paruh baya begitu pelan, nyaris tak terdengar bunyi telapak kakinya sendiri. Apalagi, kala itu hujan masih memeluk bumi. Semakin mendekat, tangan yang kerap teriris pisau dapur, lepas dari badan. Sedikit kepayahan, tatkala merengkuh bocah mungil itu dalam dekapannya. Hangat terasa. Dingin yang sedari tadi membungkus tubuh bocah itu, terusir seketika.

“Gerangan apa yang merisaukan pikiranmu, Nak?” tanya Jusna. Ia memang kerap menggunakan bahasa yang indah, tatkala berucap, meskipun dengan anaknya yang mungil itu. Dengan lembut mendekap, sembari menatap buah hatinya dalam-dalam.

Lamat-lamat, Ulfa bertenaga memungut pandangan yang sedari tadi kesasar di negeri antah-berantah. Kini mereka saling bertatap-tatapan. Jusna menangkap guratan keseriusan bergelantung di wajah mungil anaknya.

Sekoyong-koyong, Ulfa menjatuhkan sebuah tanya, separah hujan di luar. “Kenapa harus hujan, Bu? Siapa yang menjatuhkan hujan ini, Bu?” di penghujung tukasnya, matanya membelalak. Barangkali, bukan hal baru, Jusna begitu sontak dibuat kaget. Tanya Ulfa, kerap membikin pusing kepala. Bahkan, bolehjadi hilang selera makannya sepekan. “barangkali sejak dalam kandungan, Ulfa sudah menghimpun tanya serupa?” ia membatin.

Hal yang berbeda, ditampakan Muhajir, suaminya. Ia tak begitu tertarik dengan tiap tanya yang disodorkan Ulfa. Muhajir tak tanggung-tanggung memuaskan tangannya yang kekar serupa beduk, menutupi lesung pipi Ulfa.

Ingatan Jusna begitu perawan. Tatkala, Ulfa berusia empat tahun lima bulan, ia sudah memiliki gagasan tentang “kenapa Ulfa harus tidur? Kenapa Ulfa dilarang bermain? Atau, ia disuruh pergi mengaji, namun kewalahan mengeja huruf Hijaiah, “kenapa Alquran tulisannya bahasa Arab, kenapa bukan bahasa Indonesia saja, Ayah?” Muhajir tak pernah memberikan pejelasan sedikitpun atas tanya Ulfa. Ia hanya menampakan amarah yang akut dari wajahnya kerap merah membakar.

Di luar rumah, hujan masih gencar mengirim pesan langit untuk bumi. Begitulah Ulfa, ia masih meronta-ronta menagih jawaban atas tanyanya. Jusna masih mengerut kening, ia mesti memberi jawaban yang sesuai porsi. Bagaimana tidak? Ulfa baru berusia enam tahun, tujun bulan. Belum cukup balig—usia yang segala titah Tuhan meski wajib ditunai.

Sejurus kemudian, Jusna membuka suara, serupa berbisik.“Bunga-bunga di bumi sedang kehausan. Seperti kita, bunga juga butuh air, sekadar minum dan mandi, Nak!” terangkan Jusna, sembari menujuk pada serumpun bunga mawar yang tertimbul bulir hujan.

Ulfa hanya mengangguk kepala. Tatkala, Jusna kembali menerangkan, “Tuhan yang menumpah hujan dari langit,” tandas Jusna. Ia hendak menjelaskan. Sekoyong-koyongnya, Ulfa begitu cepat menimpali Ibunya. Laksana kilat yang menyambar pohon cemarah di luar. Timpal Ulfa seledak guntur. “Bu, sewaku di sekolah, Ibu guru berkata, hujan itu musabab awan tidak kuat memeluk butir-putir air, maka tumpah menjadi hujan,” ia penuh khitmad menerangkan dalam bahasa kanak-kanak. Jusna mengangguk, pertanda memahami betul bahasa anaknya yang belum fasih penggalan kalimat.

“Pandai benar anak ini, soal menghafal,” Jusna membatin.

“Apa benar, Tuhan itu tinggal langit, Bu? Berati om pilot bertemu terus sama Tuhan?” ia menjeda, mengatur nafasnya.

“Ulfa bercita-cita menjadi pilot, Bu! Biar bertemu Tuhan terus,” mata Ulfa terbelalak, sembari menggubris seyum. Lesung pipinya begitu manis dipadang.

Jusna tak kuasa menahan tawanya. Ia merasa lucu dengan tanya anaknya. Sehebat itulah seorang Ibu. Dalam situasi yang genting seperti itu, ia masih sempat menggubris senyum. Dan, memang mereka memiliki senjata pamungkas menuntaskan jawaban yang dibutuhkan anak yang sedang bertanya. Jusna sembari mendekatkan mulutnya ke telinga anaknya, lalu ia membisik sesuatu. Ulfa hanya menggubris senyum puas setelah itu. Entah, apa yang dibisikan Ibunya? Ia sendiri yang mengetahui.

* * *

Jauh sebelum dirinya dipinang Muhajir, sang imam mesjid Amirul Mukminin itu. Atau, setelah menikah dan diri mendekam di rumah. Jusna semasa kanak-kanak, pernah nyantri di sebuah pondok pesantri, di kota, tempatnya lahir. Namun, dirinya tidak sampai tamat, tatakala ia dipaksa ayahnya menikah di usia lima belas tahun.

Di pondok yang pernah Jusna nyatri kerap mengaji filsafat di akhir pekan. Ia memiliki pengetahuan tentang filsafat. Bahkan, ia menghafal di luar kepala deretan nama filsuf, seperti: Socrates, Plato, Aristotes, dan Immanuel Kant. Kerap mengaji filsafat. Sampai-sampai para orangtua santri yang lain, taklagi mengijinkan anak-anaknya menyantri. Mereka takut anaknya tertular berpikir atau bertanya yang aneh-aneh.

Dahulu, Jusna masih kanak-kanak. Serupa, ulfa. Ia kerap menjatuhkan pertanyaan yang aneh-aneh pada ustaznya di pondok pesantren, “kenapa nabi tidak berasal dari kaum Hawa? Kenapa perempuan tidak diperbolehkan menjadi imam salat? Dan masih banyak lagi. Toh, saat ini Ulfa mengikuti jejaknya. Dirinya kerab didatangi guru-guru Ulfa di sekolah. Mereka mengaduh padanya.

Pernah guru agama mengaduh pada Jusna di sebuah pengajian yang dihelat Remas Amirul Mukminin. “kau tahu Jusna!” guruya membuka cerita. Ketika pelajaran agama sedang berlangsung, tiap siswa-siswi terdiam membisu, terkecuali Ulfa. Ia pernah mengajukan sebuah pertanyaan, setelah saya selesai menjelaskan pelajaran agama.

“Tuhan telah menetapkan takdir atas hidup kita”

“Jika kalian berbuat dosa, maka tuhan akan menghukum kalian di neraka!” saya menutup kelas. Tetiba, saja Ulfa mengajukan sebuah pertanyaan, tanpa saya pinta.

“Ibu, misalkan saya seorang pencuri. Pasti, meninggal masuk neraka? Bukankan takdir saya sebagai pencuri telah ditakdirkan Tuhan? Tanya Ulfa dalam bahasa anak-anak. Namun, maknanya seperti ini. Seketika itu saya sontak dibuat kanget. Lalu, saya mendekat, menatapnya dalam-dalam, “kenapa kamu bertanya seperti itu?” ucapku setengah membentak. Tanpa, memberikan jawaban padanya. “aku khawatir saja, Ulfa tumbuh dengan pertanyaan anah-anah” tandas gurunya.

Jusna hanya menahan tawa. “Ulfa menghafal betul perdebatanku dan Ayahnya, tempo hari, hingga diriku tak diberi uang jajanan selama sepekan,” Jusna membatin.

* * *

Tatkala Jusna mendekatkan mulitnya ke telinga Ulfa, ia berbisik, “kelak usiamu sudah cukup, pastilah ibu memberitahukamu. Tetapi, yang pastinya Tuhan itu lembut, penyayang, tidak seperti yang dipikirkan ayahmu,” tanda Jusna.

“Ibu hanya bisa menjelaskan hal ini: tahukah kamu, Nak! Tanpa Tuhan mencipta semesta, awanpun tak ada. Tanpa Tuhan mencipta awan hujan pun tak ada. Hujan berasal dari awan, awan terkandung dalam perut semesta, semesta ciptaan Tuhan. Hujan tidak dapat mencipta dirinya sendiri, iya membutuhkan selain dirinya untuk eksis. Maka, dapat dikata, hujan itu dari Tuhan ” Jusna menerangkan dalam bisikannya.

Tak terasa hujan di luar rumah, sudah redah. Dengan bisikan Jusna tadi, segalah pertayaan yang aneh-aneh dari Ulfa telah usai. Jusna, percaya bahwa dengan cara kekanak-kanakan menjelaskan sesuatu. Seberapa berat perihal orang dewasa dapat terselesaikan.

* * *

Dan, hari itu. Ulfa telah memasuki usia baliq, Jusna pun memenuhi janjinya. Hujan yang masih sama, pertanyaan yang masih sama, dan jendela yang masih sama.

“Nak, Tuhan itu wajib ada—wajib al-wujud,Dialah titik awal kehidupan. Fakta keberadaan Tuhan, alam ini ada. Dialah yang Esa, tercermin dari kesatuan sistem perintah (amr). Fakta bahwa hanya satu sistem perintah. Kau tahu sendiri, nak! Bagaimana kalau lebih dari satu sistem perintah di alam ini? Maka tidak ada sesuatu yang serupa denganNya,” tandas Jusna.

“Dan, meski kau tahu, Nak! Tuhan tidak bertempat tinggal di langit, ataupun di mana saja. Yang bertempat tinggal hanya ciptaanNya. Dialah sebab yang tak bersebab—sebab dari segala sebab,” ia merangkan penuh hati-hati.

“Alam semesta, termasuk kita, Nak! adalah bagian, sedangkan Tuhan melingkupi bagian, sebab Dia adalah keseluruhan. Hanya keseluruhan yang menampung bagian. Sebagai contoh, Nak! Misalnya, telur adalah bagian. Sedangkan alam semesta adalah keseluruhan. Alam semesta tidak bisa dimasukan kedalam telur sebab keseluruhan tidak bisa ditampung oleh bagian. Tetapi sebaliknya, yang bisa menampung telur adalah alam semesta, atau keseluruhan yang bisa menampung bagian”.

“Nak! Bukan Tuhan yang tidak bisa dilihat. Hanya kita (ciptaan) yang terbatas. Apalagi mata kita. Sebab, kita atau mata kita adalah bagian, bukan keseluruhan. Yang terbatas sajalah yang tampak. Tuhan tidaklah terbatas, Tuhan melingkupi segalanya. Dan, bahkan segala juga termasuk bagian. Maka, itu bukanlah esensi Tuhan. Sesuatu hanya sama dengan dirinya,” Jusna menerangkan penuh khidmat.

Ishak R. Boufakar:Siswa Literasi Paradigma Institute Makassar. Suka kopi, puisi, dan melukis.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun