Hai teman-teman semua, kembali lagi bersama aku untuk cerita tentang keuangan.
Kali ini, aku mau ajak kamu sedikit "throwback" ke masa kecil. Karena aku percaya, fondasi terkuat tentang bagaimana kita mengelola uang itu seringkali nggak dibangun di ruang kelas ekonomi, melainkan di meja makan, di cerita-ceria sebelum tidur, atau dari pelajaran sederhana yang ditanamkan oleh orang tua kita.
Bagiku, pelajaran itu dimulai dari sebuah celengan tabung yang berwarna hijau. Celengan itu hadiah yang kudapat saat main di pasar malam sama keluarga.
Pertama Kali Aku Merasa "Kaya"
Dulu, kebiasaan menabung itu bukan sesuatu yang aku pelajari dari buku, melainkan sesuatu yang "dicetak" langsung oleh orang tuaku sejak aku masih duduk di bangku SD. Setiap kali dapat uang jajan, Ayah atau Ibu selalu bilang yang sama, "Kak, uangnya jangan dihabiskan, ditabung sedikit. Kan dirumah juga banyak makanan, jangan dihabiskan semua ya."
Awalnya, itu cuma recehan. Seribu, dua ribu rupiah. Tapi, lama-kelamaan, celenganku yang berbentuk tabung itu makin berat. Aku juga diajarkan untuk menyisihkan uang hari raya atau uang saat ulang tahun. Teman-temanku mungkin langsung beli mainan atau jajan ke pasar, tapi aku belajar tentang kesabaran. Aku belajar bahwa menunggu itu punya hadiahnya sendiri, dan hadiah itu seringkali jauh lebih berharga daripada kepuasan sesaat.
Dan hadiah pertama yang paling aku ingat itu... bukan sebuah mainan. Hadiah itu adalah sebuah tiket pesawat.
Setiap kali keluarga kami merencanakan liburan ke luar kota, yang butuh biaya lumayan besar, Ayah akan mengumpulkan kami anak-anak. "Nanti, tiket pesawatnya, kita patungan. Ayah Ibu yang bayar sebagian, sisanya... kalian yang usahakan dari tabungan sendiri, ya. Cukup bayar yang keberangkatan aja."
Waktu itu, aku ngumpulkan semua uang di celengan, pecahin, dan hitung-hitung dengan saksama. Aku ingat betul rasanya, jari-jemariku yang masih kecil menghitung lembaran-lembaran uang yang sudah kusimpan berbulan-bulan. Pas mau beli tiket, aku serahkan uang itu dengan perasaan campur aduk antara bangga dan sedih karena celenganku jadi ringan lagi.
Rasanya? Bangga banget. Itu bukan sekadar tiket pesawat. Itu adalah bukti bahwa kontribusiku dihargai, bahwa aku sudah bisa membantu keluarga. Aku nggak lagi jadi penumpang yang cuma ikutan, tapi bagian dari perjalanan itu. Duduk di kursi pesawat, aku nggak cuma melihat awan, aku merasa seperti mencapai sesuatu. Itu adalah apresiasi pertama yang aku rasakan dari sebuah kebiasaan kecil.