"Bunuh...bunuh...bunuh...bunuhbunuhbunuh...."
     Rani mengerutkan kening. Suara parau siapa itu di tengah malam seperti ini? Mirip suara ayahnya, Adi Caraka, tapi nadanya melengking ganjil. Ia pun meletakkan komik Conan yang sedang dibacanya.
     "Mati...matimatimatimati....MATI...MATIMATIMATI..."
     Rani berjingkat-jingkat mendekati sumber suara tersebut. Dari pintu ruang tidur yang setengah terbuka, tampak Adi yang sudah menginjak usia 60 tahun. Wajahnya yang sepucat kertas tampak begitu renta. Ia sedang duduk merenung di tepi tempat tidurnya. Kepalanya menunduk. Bibirnya terus berkomat-kamit menyebutkan kata "mati."
     Tanpa sengaja pandangan Rani dan Adi bersirobok. Pupil mata Adi bergerak-gerak liar. Senyumnya tampak begitu mengerikan. Kekehan pelan terlontar dari bibir yang keriput tersebut. Semburan tawanya semakin lama semakin keras.
     Rani pun membalikkan tubuh. Ia berlari menuju ruang tidurnya di dekat ruang tamu. Sekujur tubuhnya berkeringat dingin. Gila! Papa sudah gila!
     Alangkah terkejutnya Rani ketika ia melihat pintu depan terbuka lebar. Ia menggosok kedua pelupuk matanya. Bahkan, ia mengerjap-ngerjapkan kedua matanya. Tapi, pemandangan yang terhampar di depannya tak berubah. Apakah ia berhalusinasi?
     Adi tampak sedang berdiri mematung di pintu pagar yang terbuka lebar. Rani hanya bisa melihat punggungnya. Sementara kekehan pelan di ruang tidur Adi masih terdengar. Jantung Rani berdebar kencang. Masa Papa ada 2 orang? Yang mana yang asli?
     "Baru datang, ya? Ayo masuk," ujar Adi yang berada di depan pagar rumah pada kelamnya malam. Suaranya terdengar begitu antusias. Tak ada wujud manusia di luar pagar. Lalu, Adi sedang berbicara dengan siapa? Dan mana Adi Caraka yang asli?
     Rani bergidik. Ia pun segera masuk ke ruang tidurnya. Tampak Galuh Caraka sedang terlelap. Tak tega Rani membangunkan ibunya. Padahal Rani ingin memberitahu kengerian yang terjadi. Ia segera naik ke dalam tempat tidur.