Film yang dibintangi oleh Gito Rollies (Sersan Tobing), Pupung Harris (Letnan Firman), Dedy Sutomo (Kondektur Bronto), Sundjoto Adibroto (Kolonel Gatot Soebroto), Yana Fachriana dan Yenni Fachriana (Retno dan saudari kembarnya), dll ini diawali dengan adegan Letnan Firman beserta ketiga rekannya yang menghadapi tentara Belanda. Bentrokan tersebut membuat Prapto, salah satu rekan Letnan Firman, tewas.
Adegan mengarungi sungai dengan latar hutan belantara membuat penonton ikut terhanyut dalam peperangan. Jembatan bambu menunjukkan ciri khas Indonesia yang tak lekang oleh zaman.
Letnan Firman dan Letnan Sudadi pun menghadap Mayjen Tjokronegoro, wakil Letjen Oerip Soemohardjo di Markas Besar Tentara di Yogyakarta. Pada tanggal 20 Juni 1947 Belanda menyatakan tak terikat lagi oleh Perjanjian Linggarjati.
"Akan ditarik dari Bandung, Pekalongan, Tegal, dan Tasikmalaya, menuju Purwokerto yang berdatangan di sana. Dan selanjutnya diberangkatkan ke Yogyakarta. Kalian kutugaskan mengawasi pemindahan gandengan-gandengan kereta api dari Purwokerto ke Yogyakarta. Insinyur Effendi Saleh dari Jawatan Kereta Api sudah kuberitahukan. Tugas ini tergantung situasi setempat. Keputusan terakhir ada pada Kolonel Gatot Soebroto, Panglima Divisi 2." -- Mayjen Tjokronegoro.
Kemudian, Letnan Firman, Letnan Sudadi, dan Sersan Tobing (pengawal Mayjen Tjokronegoro) menemui Kandar, Kepala Stasiun Purwokerto. Kepadatan stasiun kereta api tertuang jelas dalam adegan film ini. Bagaimana bercampurnya antara tentara RI dengan rakyat yang sibuk beraktivitas, bahkan ada yang membawa kerbau!
"Masa ada pengungsi yang membawa kerbau kemari. Saya bilang tidak boleh. Lalu, saya suruh jual."-staff Stasiun Kereta Api Purwokerto.
Letnan Firman, Letnan Sudadi, dan Sersan Tobing pun menghadap ke Kolonel Gatot Soebroto dengan diantarkan oleh Gombloh, tukang pijit Gatot Soebroto.