Mohon tunggu...
Siswanto Danu Mulyono
Siswanto Danu Mulyono Mohon Tunggu... profesional -

Usia sudah setengah abad. Semua orang akan mati, tapi tulisannya tidak. Saya Arsitek "freelance" lulusan Unpar-Bandung. Sambil bekerja saya meluangkan waktu untuk menulis karena dorongan dari dalam diri sendiri dan semoga berguna untuk siapapun yang membacanya. Sedang menulis buku serial fiksi "Planet Smarta" untuk menampung idealisme, kekaguman saya terhadap banyak hal dalam hidup ini, bayangan-bayangan ilmu pengetahuan yang luar biasa di depan sana yang menarik kuat-kuat pikiran saya untuk mereka-rekanya sampai jauh dan menuangkan semuanya dengan daya khayal saya.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Para Pendukung Koruptor

30 Agustus 2015   20:06 Diperbarui: 30 Agustus 2015   20:06 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perilaku korup para pejabat yang sudah banyak berakhir di pengadilan tipikor sangat sering melibatkan para pengusaha. Korup memang ya urusannya uang (harta), dan uang adalah dunianya para pengusaha.

Apakah ada perusahaan di Indonesia yang berani bersikap tidak menyuap untuk mendapatan proyek pemerintah? Bukankah yang sering terjadi adalah sebaliknya? Jadi urusannya bukan sekedar perusahaan tersebut punya prestasi dan kualifikasi apa, tetapi juga faktor “wani piro?” Bukankah demikian banyak diantara kita sebenarnya adalah para penyokong suburnya lahan korupsi di Negara ini?

Kita minta korupsi diberantas, tapi demikian banyak masyarakat juga gemar bertindak korup: pembantu disuruh belanja korup, pegawai mencuri waktu, pedagang main akal-akalan, boss menyuap plus menilap pajak, dll-dll.

Bicara soal memberantas korupsi di Negara ini sama sulitnya dengan bicara soal harga diri dan kebenaran. Hukum sudah ada, sudah baik, tak perlu lagi membuat macam-macam aturan yang memboroskan anggaran negara. Karakter manusianyalah yang sering miring, suka menilap yang bukan haknya dan memutar-balikkan fakta.

Kalau orang pada dasarnya sudah taat hukum karena pendidikan yang diterimanya dari kecil dan lingkungan hidupnya yang mengajarkan seperti itu, maka untuk diajak melakukan hal yang keliru sudah sulit dengan sendirinya. Orang baik dan benar tidak mudah tunduk untuk berbuat keliru hanya karena kepentingan uang semata, apalagi kalau orang itu sendiri sudah kaya dan tahu artinya kaya. Yang banyak terjadi adalah orang kaya yang tidak tahu artinya kaya, sehingga merasa kurang terus. Namanya kurang terus ya arti sebenarnya dia miskin (rohaninya). Orang yang miskin rohaninya adalah sumber segala perkeliruan. Secara individu, makin kaya atau makin berkuasa seseorang tetapi miskin rohaninya, makin berbahayalah dia. Dan secara kelompok, masyarakat miskin harta dan miskin rohani menjadi bara api yang siap mengoyak kedamaian jika polisi dan hukum lemah.

Banyaknya perkeliruan di Negara ini menunjukkan sebagian besar masyarakat kita miskin rohaninya dan hukum tak punya kekuatan karena digembosi juga. Ini sangat ironis bahwa Indonesia adalah Negara yang terkenal taat beragama. Sebagian besar penduduknya sangat rajin beribadah, sangat jauh dibandingkan dengan Eropa misalnya. Atau harus dikatakan bahwa beribadah memang tidak segaris dengan niat untuk menjadi baik? Sekedar kepalsuan begitu?

Orang terhormat adalah orang yang menjaga harga dirinya, termasuk menjaga semua yang dijunjungnya: Keluarganya, kelompoknya, bangsanya, hukumnya, agamanya sampai Tuhannya. Kita marah kalau dikatakan tak punya harga diri. Kita sering berdalih yang tidak punya harga diri itu para oknum. Sayang oknumnya jauh lebih banyak dari seluruh anggota yang ada.

Tetapi punya harga diri juga bukan pekerjaan mudah. Orang yang punya harga diri harus siap tidak bisa menerima pekerjaan dengan cara “mark-up” dan menyuap, maka dia harus benar-benar berprestasi sehingga usahanya tetap jalan. Ia juga harus siap disingkirkan rekan-rekannya yang lain yang merasa segan dekat-dekat dengan dia dan sering tak mau diajak kompromi untuk hal-hal negatif. Pendeknya dia punya standar tersendiri. Kalau di Negara maju, orang punya harga diri tidak sengsara karena orang lain yang berbuat negatif ditangkap polisi sehingga semua terpaksa patuh pada hukum. Tetapi di Negara ini beda, kebanyakan suka merekayasa hukum, termasuk polisinya, maka banyaklah orang baik dan benar tapi tak berdaya menjadi sengsara. Uang jadi Tuhan. Semoga saja yang sudah baik imannya tetap kuat dan dapat bertahan.

Jadi yang harus benar siapa dulu? Ya pemimpinnyalah, yang punya kekuatan untuk merubah. Pemimpin berubah maka rakyat bisa dipaksa ikut berubah, karena yang tidak berubah bisa dijebloskan ke penjara. Pemimpinlah yang harus punya strategi untuk memutus rantai generasi tua yang korup dan memelihara golongan hitam, lalu melahirkan generasi penerus yang sehat melalui berbagai cara yang terencana rapi. Bisa lewat dunia pendidikan dan persyaratan perekrutan calon pegawai negeri dari yang tingkat rendah sampai tingkat tinggi maupun cara-cara yang pragmatis (shock therapy) melalui hukuman berat sampai hukuman mati bagi penjahat yang kelewat batas.

Jokowi mau merevolusi mental bangsa ini. Tetapi…, ya ada tetapinya, tetapi dia tak berani menembak mati koruptor besar karena masih belum PD kekuatan diri sendiri. Atau dia ngeri melihat betapa kuat dan berangasannya para koruptor itu?, jumlahnya banyak lagi. Atau… di partainya sendiri demikian banyak koruptor? Untuk sementara beraninya hanya menembak mati keroco narkoba, karena pentolan narkoba bukan orang bodo, bahkan sering malah bisa beli penguasa manca negara, tentu tidak mudah ditembak mati Jokowi. Jadi maaf saja, revolusi mental sementara mangkrak atau ngambang dulu kurang peluru dan power. Websitenya juga “hang” kena tembak, ya biar saja, yang penting kan bukan omongan atau cita-cita lagi, tapi tindakan.

Ahok bagaimana? Dia bilang: “Pendeta saya ngajari: kalau ditampar pipi kiri, kasihkan juga pipi kanan. Tetapi kalau saya ditampar (entah pipi kiri atau kanan), langsung saya pukul kamu!” Ini bisa dimaklumi, sebab kalau dia bicara sama dengan pendetanya, maka ribuan musuhnya akan geruduk kantornya untuk menampar pipi kiri-kanannya tanpa perlawanan, maka bengeplah dia dan KO. Kasih sayang dia praktekan dengan cara lain: menyediakan tempat yang baik untuk yang digusur dan memang punya hak (punya surat, bayar pajak, dll); melindungi kepentingan masyarakat luas sekuat tenaga dengan taruhan nyawa dan keluarga, dll. Jadi pemimpin di Negara korup memang jauh lebih susah daripada memimpin umat beragama yang sudah taat ajaran Nabinya. Usaha menegakkan kebenaran, nilai-nilai yang luhur dan hidup bersama yang indah butuh ketegasan, keberanian dan pengorbanan yang besar. Kalau sekedar ingin jadi raja yang dilayani, banyak yang bisa dan mau. Ahok berani melaporkan koruptor ke KPK dan membongkar boroknya ke publik. Jadi kalau dia jadi Presiden atau wakilnya, bisa jadi koruptor tertentu akan benar-benar ditembak mati, para penghasut disikat dan rakyat pasti banyak yang mendukungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun