Mohon tunggu...
Hafiz Piliang
Hafiz Piliang Mohon Tunggu... profesional -

bekerja di bidang politik. suka menulis. sering bergerak tiba-tiba. twitter @sipiliang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Keok sama Pengemis, Ridwan Kamil Perlu Belajar dari Jonan dan Risma

3 Oktober 2013   16:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:03 1087
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1380792243518933852

Cara Walikota Bandung terpilih Ridwan Kamil untuk mengendalikan jumlah pengemis dengan insentif bulanan merupakan kebijakan yang masih prematur dan dangkal. Seharusnya, bukan para pengemis yang di-bully dan dicemooh di social media, melainkan sang walikota, yang sepertinya gagal melihat dan menemukan solusi ke titik persoalan.Ridwan sebenarnya bisa belajar dari Risma dan Jonan.

[caption id="attachment_292282" align="alignleft" width="300" caption="postingan di social media (sumber : twitter.com/path)"][/caption]

Penyesalan, cemoohan, bahkan hujatan kepada para pengemis seperti tumpah di sosial media, ketika pengemis kota Bandung menyatakan penolakannya pada ajakan Ridwan Kamil untuk pindah profesi sebagai pekerja sosial dan tidak lagi mengemis. Hujatan sosmed bukan hanya timbul dari penolakan tersebut. Para pengemis dianggap arogan karena meminta gaji minimal 10 juta, jika memang hendak di-pindahprofesi-kan.

Yang seharusnya dibikin malu, ya Ridwan Kamil sendiri. Bagaimana mungkin seorang Walikota mengeluarkan solusi atau kebijakan tanpa memperhitungkan sisi pengemis. Hitung-hitungan di sosial media memang mencengangkan, meski terlalu muluk. Namun angka pendapatan pengemis yang disebut mencapai Rp.28 juta per bulan. Jika bukan urusan uang ini yang dimaksud, maka maksud Walikota adalah orang-orang yang menjadi pengemis karena tidak memiliki pekerjaan. Asumsi ini sangat mungkin juga salah. Dan dua hal ini seharusnya sudah ada dalam radar sang Walikota.

Pertanyaannya, apakah walikota tahu hitung-hitungan ini? Dan tahu atau tidak, kenapa masih berani memberikan solusi dengan Rp.700 ribu/bulan?  Ini seperti Walikota menyorongkan muka, dan meminta “ludahi saya.”

Dengan kekuasaan sebagai walikota, seharusnya ada hal lebih yang bisa dilakukan Ridwan Kamil. Kota Bandung adalah magnet besar, ibarat gula yang pasti menarik semut datang. Langkah yang dilakukan walikota sebagai pemilik saat ini adalah menyediakan gula-gula kecil pada si semut yang sebenarnya tidak diinginkan. Semut mana yang mau mengambil gula-gula kecil itu, sementara dia masih punya akses langsung ke gula besar? Dan kebutuhan si semut atas gula (karena kebiasaannya) tidak lagi bisa dicukupi oleh gula kecil yang disediakan?

Hal yang seharusnya dilakukan adalah melindungi gula, dan mencegah masuk.  Artinya, walikota yang memiliki hak penuh atas kotanya harus membuat sistem perlindungan, jika pengemis ini tidak diinginkan (apalagi jika pengemisnya bukan warga Bandung). Banyak hal yang bisa dilakukan. Apalagi jika masyarakat memang berdiri di belakang walikota, hal ini lebih gampang. Tapi caranya tentu bukan dengan menjadikan pengemis sebagai musuh warga (isunya mulai mengarah kesini).

Belajar dari Jonan dan Risma

Bandung sebenarnya bisa belajar. Hal seperti sukses dilakukan beberapa pemimpin di negeri ini. Dua orang diantaranya yang bisa diberikan adalah Walikota Surabaya Tri Rismaharini dan Direktur Utama PT. Kereta Api Indonesia (KAI) Ignasius Jonan.

Ignasius Jonan dalam mereformasi PT. KAI juga menghentikan salah satu sistem dalam siklus pengemis dan gelandangan. Stasiun-stasiun kereta api, yang selama ini pelataran di dalamnya jadi tempat penampungan (atau tidur) para pengemis dirapikan. Kita tentu masih ingat banyaknya gesekan antara pedagang kaki lima, dan ruko di stasiun kereta yang tak rela lapak dan toko mereka di buang dari dalam stasiun. Tapi Jonan tak bergeming, pembersihan stasiun diikuti pemanjangan gerbong tetap berjalan. Sistem yang baru diberlakukan. Bekas toko-toko liar kemudian dijadikan tempat parkir yang luas yang memungkinkan orang untuk memarkir kendaraan pribadinya, untuk beralih ke kereta.

Bagi Jonan ini hal sederhana, cuma butuh ketegasan demi kepentingan yang lebih baik dan lebih besar. Gesekan yang akan muncul tidak akan ada artinya dibandingkan manfaat yang sekarang didapatkan oleh pengguna kereta. Isu-isu kemanusiaan tidak mempan karena bagaimanapun yang dilakukannya adalah untuk meningkatkan standar kemanusiaan bagi pengguna kereta api. Dan lahan itu memang nyata milik PT. KAI.

Tri Rismaharini juga memiliki strategi serupa. Ibu separuh baya yang sekarang mulai dikenal luas ini, garangnya seperti Ahok dan sangat rapi. Dalam beberapa hal, termasuk penyusunan administrasi Ahok bahkan belajar kepada Risma. Masalah PKL dan pengemis, oleh Risma dilakukan dengan melindungi tempat-tempat umum. Satpol PP benar-benar diberdayakan untuk menjaga agar pengemis, gelandangan, termasuk PKL, tidak masuk ke tempat publik, terutama Taman. Taman Bungkul contohnya, taman yang didesain Ridwan Kamil sendiri, dilindungi dengan cara seperti itu. Tidak ada pedagang asongan (bahkan bukan pengemis dan gelandangan) yang berani masuk kedalamnya.

Awalnya langkah Risma terdengar sangat keras karena menggunakan  aparat. Dan Ridwan Kamil lebih memilih cara manusiawi mungkin. Namun jika memang itu dilakukan dengan konsisten, kemudian masyarakat melihat hasilnya, masyarakat akan menjaga sendiri taman itu sendiri kedepannya. Jangankan pengemis, pedagang asongan rendah diri. Risma menyertakan solusi lain dengan menyediakan pasar jajanan di sebelah taman-taman yang ada.

Ridwan Kamil bisa belajar dari dua tokoh ini. Partisipasi masyarakat harus dipancing bukan dengan memancing kebencian kepada pengemis (hal ini mulai muncul, dan berbahaya). “ah masa pengemis bisa dapat penghasilan segitu Cuma minta-minta”. “Ah ga mau ngasih pengemis lagi, kan mereka kaya.” Jika ini yang muncul, pendidikan masyarakat terhadap kedermawanan dan kemurahan hati yang akan terancam. Sikap gampang curiga, dan kearifan nasional kita mulai memudar.

Justru peran pemerintah yang harus ditingkatkan. Strategi yang tepat untuk menyelesaikan persoalan dengan pendekatan yang benar. Tidak harus langsung dengan membasmi para pengemis misal, tapi dengan tujuan besar yang lebih, seperti yang dilakukan Ignasius Jonan. Atau dengan memunculkan kesadaran partisipatif dari masyarakat serta perlindungan wilayah tertentu yang dilakukan Risma. Ridwan Kamil harus menemukan cara yang paling tepat untuk Bandung.

Masalah pengemis dan angkot bukan masalah sederhana. Mereka hanya ujung-ujung dari masalah yang lebih besar, yang mungkin tidak bisa diselesaikan oleh seorang walikota. Tapi seorang walikota harus mampu melindungi dan membangun warganya. Melindungi tidak harus dari musuh, dan jangan sampai pengemis dan gelandangan (yang mungkin ada juga warga Bandung)dianggap sebagai musuh.

Semangat Berjuang Bung Ridwan.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun