Mohon tunggu...
jufri sinurat
jufri sinurat Mohon Tunggu... entrepreneur -

A free man yet i believe Jesus as my Savior. Currently take a course of entrepeneur as my passion in this life. Bookworm, IT freak and love-to-bangs-the-drum are the best ways to describe me. Feel free to discuss with me in every topics.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Generalisasi dan Inferiority Complex, Sebuah Paradigma yang Berbahaya

13 September 2010   12:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:16 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Salam sejahtera Generalisasi Beberapa hari yang lalu saya baru menonton film My Name is Khan, sebuah film bagus tentang perjuangan, cinta dan perbedaan. Film tersebut menceritakan (warning spoiler!) perjuangan Khan (Shahrukh Khan) yang mempunyai penyakit Asperger Syndrome (Autis) untuk bertemu Presiden AS dan mengatakan ‘My Name is Khan and I’m not terrorist). Khan melakukan itu karena terdorong oleh pernyataan emosional istrinya Mahindra (si cantik Kajol) yang kecewa hidupnya berantakan karena menikahi Khan yang seorang Muslim. Latar belakang film adalah AS setelah peristiwa 9/11, banyak warga AS yang paranoid terhadap pemeluk Islam, mereka menggeneralisir semua Muslim adalah berbahaya dan ajaran Islam untuk mencelakakan orang lain. Saking paranoidnya orang2 AS saat itu sampai ada seorang karakter di film yang beragama Sikh harus melepas penutup kepalanya karena takut dikira seorang Muslim, atau ketika adik Khan menyuruh istrinya untuk melepas jilbab karena situasi tidak memungkinkan (banyak warga Muslim yang diintimidasi, dilecehkan dan diteror). My Name is Khan mengajarkan saya bagaimana kejamnya sebuah generalisasi (yang negatif) terhadap sebuah identitas tertentu. Ok saya ambil contoh dari identitas saya. Saya seorang Kristen dan saya pernah ditanya oleh seseorang, apa sikap saya terhadap konflik Israel-Palestina. Saya tegaskan kepada dia, saya tidak memihak siapapun, bagi saya nyawa seorang Palestina sama berharganya dengan nyawa seorang Israel (terlepas dari identitas orang tersebut). Jawaban itu sedikit mengejutkan dia, karena mindset dia, semua orang Kristen mendukung Israel. Kemudian saya jelaskan lagi ke dia, ada orang Kristen Palestina juga di Jalur Gaza dan Tepi Barat yang menderita karena isolasi dari Israel. Dan tentu saja ada orang Israel yang menolak setiap tindakan kekerasan atas Palestina dan membantu rakyat Palestina (lihat status saya). Teman saya itu pun sedikit terbuka pikirannya karena penjelasan saya. Generalisasi (negatif) sangat berbahaya. Saya pun dahulu punya mindset seperti itu. Saya kadangkala menjudge seseorang berdasarkan identitas yang ada pada orang tersebut (sebelum mengenal dia secara pribadi). Tapi saya menyadari bahwa menggeneralisasi secara negatif sebuah identitas adalah sebuah asumsi keji (mengutip istilah Harper Lee dalam karyanya To Kill a Mockingbird) Inferiority Complex. Saya punya seorang senior yang sekarang menjadi dosen di sebuah Universitas di Inggris. Suatu saat sebuah kampus di Indonesia mengirimkan undangan ke Universitas tempat senior saya mengajar untuk mengirimkan dosen agar memberi kuliah tamu. Karena subject yang diminta sesuai dengan keahlian senior saya, maka undangan tersebut dibalas dengan ditunjuknya senior saya sebagai visiting lecture di kampus tersebut. Kemudian pihak kampus yang mengundang tersebut menolak senior saya yang di utus oleh almameternya, mereka meminta penggantinya harus orang Inggris. Lalu pihak Universitas di Inggris itu mengirimkan seorang pengganti yang berwarganegara Inggris yang ternyata anak didik/asisten dari senior saya. Kata senior saya kepada saya ‘Saya bingung antara harus tertawa atau sedih melihat hal itu’Inferiority Complex menurut Wikipedia adalah sebuah perasaan inferior terhadap pihak lain. Menurut saya pihak kampus di Indonesia didalam cerita diatas menderita Inferiority Complex. Saya pun dahulu menderita ‘penyakit’ ini. Dulu saya merasa kemampuan orang Indonesia kalah jauh dibanding negara2 maju seperti Jepang, AS, Jerman dll. Ternyata saya salah. Salah seorang dosen saya bercerita, pada dekade 60an dan 70an mobil2 Jepang dianggap mobil kelas kedua di Indonesia. Dibandingkan mobil2 Eropa dan AS, kualitas mobil Jepang saat itu lebih buruk, namun saat ini bisa dilihat bagaimana Jepang bisa menghadirkan mobil berkualitas tinggi seperti Lexus dan Toyota bisa mengalahkan penjualan global dari The Big Three AS (GM, Ford dan Chrysler). RRC pada dekade 50an dan 60an terkenal sebagai negeri Tirai Bambu karena ketertutupannya terhadap dunia luar. Pada waktu itu terjadi kelaparan luar biasa karena kegagalan program Great Leap Forward yang digagas oleh Mao Zedong. Pada saat itu Bangsa China lupa bahwa mereka pernah jadi Bangsa yang besar jauh sebelum peradaban Barat bangkit melalui Renaissance. Tapi sekarang Sang Naga itu telah bangkit dari tidur panjangnya dan akhir kuartal ketiga tahun ini akan menyalip Jepang untuk menjadi kekuatan ekonomi terbesar kedua didunia setelah AS. Belajar dari Jepang dan China, saya percaya, sebuah bangsa tidak akan maju jika masih menderita Inferiority Complex. Saya optimis Indonesia akan menjadi negara yang maju. Ya, sekaranglah waktunya Indonesia! Salam Hangat JRS

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun