Mohon tunggu...
Sindy Aritonang
Sindy Aritonang Mohon Tunggu... Penulis - Aku menulis, maka Aku ada

Enjoying writing stuffs in my Fortress of Solitude..

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

"Adakah Ekstensi Pendidikan bagi Si Miskin?", Menyoal Problem Kesenjangan Pendidikan di Indonesia

29 April 2020   16:16 Diperbarui: 29 April 2020   17:59 251
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan jelas sekali urgensinya bagi perkembangan diri seseorang. Pendidikan sangat mempengaruhi baik karakter, ilmu, pola pikir, dan aspek-aspek lain dari individu. Perihal bagaimana manusia mendapatkan pendidikan dalam hidupnya, tak terlepas dari kodrat alamiahnya sebagai mahkluk sosial. 

Pada dasarnya manusia merupakan mahkluk sosial, oleh karena itu, ia mendapatkan pendidikan utamanya melalui lingkar sosialnya pula. Lingkar sosial kita selama ini telah menyediakan tiga unsur pendidikan yang terdiri dari pendidikan formal, pendidikan informal, dan pendidikan nonformal.

Hal ini pun sudah dikukuhkan dalam tata perundang-undangan Indonesia terkait Sistem Pendidikan Nasional, terutama pada Pasal 1 ayat 7, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003, yang mendefinisikan bahwa Jalur pendidikan adalah wahana yang dilalui peserta didik untuk mengembangkan potensi diri dalam suatu proses pendidikan yang sesuai dengan tujuan pendidikan. 

Selain itu, macam-macam jalur pendidikan di Indonesia pun sudah tertuang di dalam Pasal 13 ayat 1, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, berbunyi: "Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan formal, nonformal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya."

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang. Terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. 

Pendidikan nonformal adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan secara terstruktur dan berjenjang. Program pendidikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup misalnya pendidikan organisasi kepemudaan dan pemberdayaan masyarakat, hingga Pendidikan keterampilan seperti pelatihan kerja, Pendidikan Kesetaraan (Program paket). 

Pendidikan nonformal tersebut berfungsi sebagai penambah/ekstensi (perluasan) pada pendidikan formal apabila pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik pada pendidikan formal dirasa belum memadai.

Sementara itu, pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan yang berbentuk kegiatan belajar secara mandiri. Salah satu contoh pendidikan informal adalah pendidikan anak usia dini. Pendidikan informal menjadi salah satu unsur pendidikan yang memiliki pengaruh besar akan pembentukan watak-kepribadian, kebiasaan, pola pikir dan perilaku anak di masa depannya.

Baik pendidikan formal, informal, maupun nonformal, ketiganya memiliki fungsi dan peran yang bersifat komplementer (saling melengkapi). Hal ini tentu baik adanya, mengingat pendidikan sangat berkorelasi dengan baiknya kualitas SDM di suatu negara. Kualitas SDM akan menopang kemajuan segala unsur kehidupan baik ekonomi maupun sosial dari suatu negara.

Maka dari itu, pendidikan menjadi salah satu elemen yang sangat penting dalam mendukung pemerintah Indonesia untuk mewujudkan cita-cita tersebut. Namun nyatanya, hingga kini cita-cita luhur Bangsa Indonesia untuk "Mencerdaskan Kehidupan Bangsa" sebagaimana yang tercantum pada alinea IV Pembukaan UUD 1945, belum sepenuhnya terealisasikan.

Timpangnya Akses Pendidikan Wajib dan Fasilitas Beasiswa Negara

Pemerintah Indonesia melalui kementerian keuangan dan kementerian pendidikan mengungkapkan telah menggelontorkan dana APBN yang cukup besar untuk menunjang keperluan pemerataan dan kemajuan pendidikan Indonesia setiap tahunnya.

Pelaksanaan yang dijalankan pemerintah ini tentu merupakan guna mengamalkan amanat Undang-Undang tentang Sistem Pendidikan Nasional pada UU No. 20 tahun 2003 bahwasanya sistem pendidikan nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaharuan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.

Namun nyatanya, wajah pendidikan Indonesia belum menampakkan kemajuan-kemajuan yang berarti. Meski akses ke sekolah formal berjalan membaik, sebagian besar siswa miskin masih mengenyam pendidikan di sekolah bermutu rendah yang dicirikan dengan hasil nilai ujian nasional rendah dan berakreditasi C. Pada akhirnya siswa-siswa ini tak yang mampu bersaing dengan anak-anak yang telah mengenyam pendidikan di sekolah berkualitas bagus. Baik bersaing mendapat bangku di sekolah unggulan, maupun bersaing meraih beasiswa prestasi.

Ketika membicarakan beasiswa pun, Indonesia masih memiliki PR besar dalam soal pemerataan pemberian beasiswa. Problemnya adalah bahwa negara bukan tidak mampu memberi dana beasiswa, tetapi informasi tak terakses oleh siswa miskin. Sehingga dana yang ada lebih banyak diberikan pada anak-anak yang memang berprestasi. Kita bisa katakan bahwa anak berprestasi lebih memiliki akses untuk meraihnya. Namun bagaimana dengan anak miskin yang belum menunjukkan prestasi, tetapi masih berkeinginan untuk bersekolah tinggi?

Umumnya, beasiswa merupakan bantuan keuangan yang diberikan kepada perorangan, mahasiswa atau pelajar yang digunakan demi keberlangsungan pendidikan yang ditempuh oleh pemerintah, lembaga, maupun institusi-institusi tertentu yang memang memperhatikan ranah pendidikan bagi mereka yang berlatarbelakang ekonominya kurang dan berprestasi, ataupun mereka yang berprestasi meski mampu secara ekonomi. Beasiswa juga diartikan sebagai bentuk penghargaan yang diberikan kepada individu agar dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Penghargaan itu dapat berupa akses tertentu pada suatu institusi atau penghargaan berupa bantuan keuangan.

Mari kita klasifikasikan anak-anak yang secara khusus dapat menerima beasiswa:

- orang yang tidak mampu finansial namun berprestasi

- anak2 dari daerah 3T : terpencil, terluar, terbelakang

- anak yang mampu finansial dan berprestasi

Jika anak yang mampu finansial mampu mengikuti ragam suplemen pendidikan seperti bimbel (lembaga bimbingan belajar) tambahan guna menunjang pendidikan formalnya untuk dapat berprestasi; anak-anak yang tak mampu namun berprestasi mendapat prioritas dana bantuan dari sekolah, lalu bagaimana dengan anak-anak yang memang tidak mengetahui informasi beasiswa yang memang sudah dijatahkan bagi mereka para anak-anak daerah 3T?

Sebagai negara kepulauan, Indonesia memang masih dalam tahap pembenahan infrastruktur dan sistem penyaluran yang tersentralisasi di pulau Jawa. Akses informasi yang sulit membuat mereka seringkali tertinggal dari anak-anak lainnya. Jika kondisi ini terus dibiarkan berlanjut, maka mereka akan sulit membalik kondisi mereka untuk lebih sejahtera.

Pola pendidikan seperti rantai yang saling berjejaring. Apapun latar belakang ekonominya, apabila seluruh anak-anak Indonesia mendapat akses pendidikan yang berkualitas, maka terjadi kompetisi pendidikan yang setara dan kondusif. Jika sedari awal anak-anak ini dibekali pendidikan yang berkualitas, mereka akan mampu bersaing baik dalam bidang prestasi maupun bidang sosial-ekonomi dengan kompetensi yang mereka miliki nantinya.

Sesungguhnya, yang perlu pemerintah fokuskan kedepan pada problem timpangnya informasi distribusi beasiswa, adalah tentang bagaimana dana beasiswa pemerintah tersebut dapat dijangkau oleh anak-anak tak mampu, dan digunakan sebesar-besarnya demi kesejahteraan masyarakat Indonesia.

Membela Kesempatan Bagi Si Miskin Memperluas Ilmu dan Memperdalam Bakat

Pemerintah dan konstitusinya menjamin terbukanya kesempatan bagi setiap anak Indonesia memperoleh akses pendidikan yang berkualitas. Merujuk pada Undang-Undang Dasar 1945, tersebutkan dalam pasal 31 ayat 1 bahwa setiap warga Negara berhak mendapatkan pendidikan dan pada ayat 2 disebutkan bahwa setiap warga Negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.

Dan dalam UU No. 20/2003 pasal 5, bahwa setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu, warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus, warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus, warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus serta setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.

Fokus perhatian sebagian besar pengamat pendidikan Indonesia, lagi-lagi masih terbatas pada pemerataan pendidikan formal wajib belajar 12 tahun. Padahal fokus pendidikan kita sangat berjejaring dan meliputi berbagai aspek mulai dari pendidikan formal, informal, nonformal, dan pendidikan dari ketiga jalur pendidikan tersebut, berlangsung sepanjang hidup.

Mengacu pada UU No. 20/ 2003 seperti yang telah disebutkan di atas, salah satu aspek yang luput dari perhatian kita ialah pengembangan potensi dan bakat, sebagai ekstensi (perluasan) dari pendidikan formal terutama bagi mereka yang berlatar belakang tidak mampu secara ekonomi. Potensi dan bakat tidak hanya dimiliki oleh mereka yang mampu finansialnya. Anak-anak tak mampu pun memilikinya, namun mereka terkendala biaya untuk mengeksplorasi minat dan potensinya.

Kita tentu bisa membayangkan betapa luasnya cakupan beban kerja pemerintah untuk menangani problem pendidikan di Indonesia.

Sebetulnya, mereka yang tidak bisa mendapatkan pendidikan formal dapat mengambil alternatif pendidikan nonformal dan informal, misalnya melalui lembaga-lembaga pendidikan/kursus. Sehingga, kendati anak-anak yang mengalami kendala finansial belum menjalani proses pendidikan formal, mereka dapat sembari mengasah kemampuan dan potensi sebagai bekal minimalnya mencari pekerjaan yang layak. Namun, nyatanya jarang sekali ada lembaga pendidikan kursus atau bimbingan belajar yang memberi bantuan sosial kepada anak-anak tak mampu untuk turut belajar atau memperluas ilmu yang telah didapatnya disekolah.

Lalu bagaimana peran lembaga-lembaga pendidikan kita mulai dari swasta dan masyarakat kita selama ini? Bagaimana dengan fenomena menjamurnya BimBel (Bimbingan Belajar) sebagai salah satu lembaga pendidikan di Indonesia, terutama di pusat-pusat kota seperti di Jakarta? Penting bagi kita mempertanyakan apa kontribusi pendidikan lembaga bimbel di tengah masyarakat. Hal ini cukup patut dikritisi mengingat hal-hal demikian nampak sepele, namun sebetulnya memiliki dampak yang cukup luas.

Apa kini pendidikan menjadi sesuatu yang dikapitalisasi dan hanya dapat di akses oleh segelintir orang yang memiliki modal untuk menambah ilmunya? Apa anak-anak tidak mampu secara ekonomi tidak bisa memiliki akses yang sama untuk memperoleh ekstensi pendidikan (perluasan aspek pendidikan selain pendidikan formal)? Mengingat selama ini, jarang sekali lembaga bimbingan belajar membuka kesempatan bagi anak-anak tidak mampu untuk menambah wawasan yang tidak di dapatnya di sekolah formal. Sehingga seringkali anak-anak tidak mampu, banyak mengalami ketertinggalan di bidang akademisnya.

Ada baiknya, lembaga-lembaga ini memiliki keterlibatan moral untuk bersama membangun ekosistem pendidikan yang kondusif. Baik pihak pemerintah, lembaga pendidikan asing-swasta-lokal, perlu bersinergi.

Jika pemerintah masih berfokus pada pemerataan pendidikan formal ke seluruh wilayah NKRI, maka lembaga pendidikan asing-swasta-lokal dapat membantu pada aspek lainnya misalnya melalui pendidikan informal-nonformal, mulai dari sekolah keterampilan gratis, hingga bimbingan belajar gratis bagi anak kurang mampu.

Sinergi tiap elemen masyarakat inilah yang memungkinkan tercapainya harapan bangsa utuk menghasilkan manusia-manusia kompeten yang berdikari di masa depan.

Inilah mengapa pendidikan menjadi salah satu proyek berkelanjutan, yang kesuksesannya membutuhkan komitmen kerjasama berbagai pihak, baik pemerintah, lembaga swasta, lembaga asing, dan warga.  Anak-anak yang memiliki latar belakang ekonomi yang tidak mampu seringkali seperti "anak tiri" dalam berbagai aspek sosial.

Padahal, turut berpartisipasi dalam pengawasan penyelenggaraan pendidikan bagi seluruh anak-anak Indonesia dari berbagai kalangan, tidak hanya mendukung aspek pragmatis bagi negara kita (memajukan kualitas sumber daya manusia Indonesia di kancah persaingan global), tetapi juga merupakan salah satu langkah kita memanusiakan mereka.

***

REFERENSI:

https://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/7308/UU0202003.htm

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun