Mohon tunggu...
Sindy Aritonang
Sindy Aritonang Mohon Tunggu... Penulis - Aku menulis, maka Aku ada

Enjoying writing stuffs in my Fortress of Solitude..

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Agenda "Menggaet Milenial" dalam Kebijakan Pertanian Kita, Perlukah?

21 Mei 2019   08:38 Diperbarui: 21 Mei 2019   08:56 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di era globalisasi semua hal begitu terasa cepat dan mudah. Perputaran bisnis dan industri berkembang pesat seiring dengan pertumbuhan penduduk dan siklus supply-demand yang menyertainya. 

Namun satu hal yang pasti mengenai perkembangan zaman ini adalah tantangan yang datang dari besarnya pertumbuhan populasi, tidak stabilnya pasokan makanan, degradasi sumber daya alam, perubahan iklim, hingga stabilitas bahan bakar dunia.

Thomas Robert Malthus melalui teori Pertumbuhan dengan metode deret ukurnya menyatakan bahwa Revolusi Hijau terjadi karena semakin meningkatnya jumlah penduduk di dunia, namun tidak diiringi dengan peningkatan jumlah produksi pangan. Oleh sebab itulah, industri pertanian seperti komoditas hortikultura, perkebunan, hingga peternakan merupakan aspek strategis yang harus selalu dijaga keberlanjutannya.

Begitu kompleksnya perkara ketahanan pangan hingga seluruh aspek sangat diperhatikan keberlangsungannya, mulai dari tercukupinya daya dukung lingkungan dan sumber daya alam/SDA (aspek geografis), infrastruktur penyokong industri, ketersediaan stok pangan, regulasi, hingga sumber daya manusia/SDM baik dari segi kualitas maupun kuantitas.

Melawan Stigma: Mempertahankan Keberlanjutan Profesi Petani 

Tulisan ini pada dasarnya merupakan refleksi penulis yang melihat kegentingan dari merosotnya kehadiran pemuda dalam pembangunan sektor pertanian dalam segi kuantitas dan kualitas yang merupakan aset ketahanan pangan Indonesia ke depan.

Mengutip statistik ketenagakerjaan pertanian, tenaga kerja muda pada usia 15-29 tahun dalam rentang tahun 2008-2012 terus mengalami penurunan hingga pada angka 8.081.531 jiwa (disarikan dari RenStra Kementan 2015-2019, hlm.37). 

Fakta yang ditemukan dalam penelitian Kementan pada rentang tahun 2010-2014, bahwa perkembangan tenaga kerja yang berada pada sektor pertanian jauh timpang dibandingkan angka kenaikan pada sektor nonpertanian.

Minimnya minat pemuda milenial pada sektor pertanian cukup disayangkan, sebab pemuda milenial memiliki potensi yang sangat besar sebagai agen pembaharuan industri pertanian dan pangan Indonesia. Dengan keahlian teknologi informasi digital yang fasih, energik, dan inovatif, para pemuda Indonesia telah banyak melakukan perubahan budaya korporasi dan berhasil melahirkan inovasi korporasi baru seperti yang dikenal dengan Unicorn hingga e-market. 

Mendahulukan produktivitas dan efisiensi, ditambah dengan penggunaan teknologi digital, perusahaan unicorn ini bahkan menyerap begitu banyak tenaga kerja misalnya pada industri jasa. Tentu potensi pemuda yang besar ini juga sangat dibutuhkan pada sektor pertanian khususnya dalam meningkatkan produktivitas lahan dan penguatan kedaulatan pangan.

Penurunan jumlah tenaga kerja muda pada sektor ini tentu didorong banyak faktor, dan salah satu yang paling berpengaruh ialah stigma umum. Stigma yang terbangun dalam masyarakat tentang profesi petani masih ternilai memprihatinkan. 

Profesi ini digambarkan sebagai pekerjaan yang keras, terkesan tradisional, dengan hasil yang tak tentu karena panen tergantung dengan musim atau iklim sehingga kalah saing dengan pekerjaan kantor perusahaan di kota yang notabene tak perlu memakan kekuatan fisik, kantor berpenyejuk udara, dan sistem upah yang terjamin. 

Kondisi seperti ini yang membuat sebagian besar petani  dan anak-anak muda yang bermukim di desa memilih berurbanisasi mencari pekerjaan di kota, bahkan sebagian besar keluarga petani sendiri pun berharap anaknya kelak tidak kembali menggeluti usaha pertanian.

Kurangnya regenerasi profesi petani muda yang mumpuni dalam penggunaan alat pertanian modern, hanya bertumpu pada kelompok petani usia tua dan masih menggunakan alat tradisional membuat pemanfaatan lahan tidak optimal dan hasil panen berjalan lambat sementara kebutuhan pangan masyarakat Indonesia sangat besar. 

Akibatnya, alih-alih memberi kontribusi besar pada PDB, Indonesia sebagai negara agraris justru mengimpor dan menguras devisa untuk memenuhi kebutuhan 250 juta penduduk Indonesia dengan produk-produk pangan seperti beras, gula, bawang merah, garam, hingga daging.

 Hal ini tentu terkesan mubazir, karena sesungguhnya Indonesia sangat potensial untuk memenuhi sendiri kebutuhan pangan masyarakatnya. Namun, belum optimalnya pertumbuhan tenaga kerja muda profesional dan andal dalam berbagai teknologi pertanian modern hingga manajemen pertanian yang mau turut serta bekerja mengelola sektor vital ini menjadi faktor pendukung dari problem ini.

Pemerintah jelas mengharap pada yang muda untuk tidak serta merta memberi asumsi pesimistik pada profesi petani. Stigma seperti ini harus ditransformasikan secara lebih optimis, bahwa petani adalah pengusaha dalam bidang pertanian. Profesi petani berpeluang juga menjadi orang sukses dengan pengelolaan dan penggunaan alat teknologi yang mengoptimalkan usahanya. 

Menjadi seorang petani pun bukan sekedar pekerjaan fisik berat yang melulu bergantung pada kekuatan laki-laki. Perlu ditekankan bahwa diperlukan pendidikan yang tidak bias gender, dalam artian profesi petani tidak memandang gender dari seorang muda untuk ikut terjun dan mengembangkan usaha ini. Perempuan muda milenial pun bisa mengambil bagian dalam manajemen sektor-sektor vital dari agrobisnis.

Mengambil Peran

Gerakan Pemuda Tani (GEMPITA) dari Kabupaten Lombok Utara menjadi salah satu nyata dari bentuk sinergitas yang dilakukan oleh pemerintah dan pemuda daerah dalam upaya mempertahankan kesinambungan profesi tani di daerah Lombok Utara. 

Diketuai oleh Rahadi Al Ubayya, GEMPITA ditujukan untuk memberdayakan anak-anak petani untuk tetap menggeluti usaha bertani dan mengolah ladang tanpa takut termakan stigma negatif.  Kurang-lebih 1500 Ha lahan dimanfaatkan sebagai area pertanian jagung dan dikelola langsung oleh 1.500 petani yang 80% nya adalah pemuda.

Manajemen lahan pertanian yang dilakukan oleh gerakan Pemuda Tani Indonesia diprakarsai oleh Menteri pertanian, Amran Sulaiman. Dalam hal ini kementerian bersama dengan pihak perbankan bekerja sama untuk membantu mulai dari pemberian fasilitas, alsintan (alat mesin pertanian), pupuk, benih, hingga KUR (Kredit Usaha Rakyat).

Tahun lalu, kelompok Pemuda Tani ini berhasil memanen kurang-lebih 65.000 ton dari 7.000 Ha lahan. Jika mereka menjual hasil panen tersebut mengikuti standar Bulog (Rp 3.150/Kg), petani muda tersebut menerima pemasukan bersih Rp.12.000.000,-/4 bulan masa panen (sudah termasuk biaya pengolahan lahan, dimana 1 hektar lahan memakan biaya 6 juta rupiah).

Tentu pemuda-pemuda yang mengusahakan lahannya dengan bertani tersebut merasakan kebermanfaatannya. Mereka mengolah dan menikmati hasilnya, bahkan mereka dapat merekrut pekerja dari daerahnya dan menguatkan perekonomian lokal.

Menimbang Urgensi Pendidikan Profesi Sektor Pertanian dalam Kebijakan Pertanian

Winni Chen, dalam jurnal ilmiahnya yang berjudul "Sustainability through Eternal Power of Youth" mengatakan, "I used to think of agriculture as just an industry of producing food. However, I drastically change my view of agriculture after participating in an organic agriculture camp and involved in the operation of an organic farmers in Taiwan."

Layaknya istilah "Tak kenal maka tak sayang," menumbuhkan minat seseorang pasti didahului dengan rasa ingin tahu yang terlintas. Jika anak-anak muda belum mengenali begitu banyak sektor pertanian yang dapat mereka terjuni, sulit rasanya untuk dapat menumbuhkan minat mereka. 

Singkatnya, membicarakan keberlanjutan/regenerasi profesi untuk Sumber daya Manusia (SDM) mesti berkaitan dengan pendidikan. Kebijakan pertanian harus menanggapi serius masalah regenerasi petani secara holistik, dimana pendidikan merupakan senjata yang ampuh untuk merubah mindset masyarakat, memperbaiki kualitas SDM sektor pertanian, dan menarik minat pemuda untuk ikut berperan.

Sumber daya manusia yang berkualitas adalah prasyarat bagi kemajuan dan keberlangsungan kehidupan suatu negara, dan pendidikan lagi-lagi memainkan peranan penting. Yang perlu digaris bawahi adalah Pendidikan di sini perlu dilihat dari 2 sisi: Sisi pendidikan bagi para petani muda, dan Sisi pendidikan untuk menggaet minat para pemuda potensial untuk berkiprah di sektor pertanian.

Dari sisi pendidikan tenaga kerja muda, kurangnya pendidikan di sektor pertanian yang menyebabkan lambatnya adopsi berbagai teknologi tepat guna dan minimnya pemanfaatan peluang-peluang untuk meningkatkan produktivitas. Dengan kata lain, pemuda harus mempelajari produk pangan yang mereka budidayakan, apa saja teknologi digital yang dapat dipadukan dengan mekanisasi dalam pengolahan lahan-penanaman-perawatan-pemanenan, bagaimana mereka memasarkan panen mereka, hingga cara mengolah hasil panen menjadi sesuatu yang diminati masyarakat dan menaikkan nilai jual. Dalam hal ini pemerintah melalui Kementan sudah mengupayakannya lewat Pusat Pelatihan Pertahanan dan Perdesaan Swadaya (P4S).

Sedangkan dari sisi pendidikan minat, penulis berpendapat bahwa Kementan perlu membuka program magang yang langsung menerjunkan pemuda langsung pada organisasi petani tentang bagaimana mereka memanajemen dan mengkultivasi lahan, ataupun pembukaan usaha pertanian dengan mentoring kepada khalayak umum. Rasa antusiasme pada pemuda tentu akan muncul apabila sesuatu terlihat seru dan menarik, dan lewat program ini pula, Sektor pertanian akan memperoleh pemuda-pemuda unggul yang berpartisipasi, kreatif, dan memiliki keuletan yang tinggi. kemunculan e-commerce sektor pertanian seperti aplikasi @tanihub, @carisayur, dan aplikasi lainnya merupakan tanda mulai berdenyutnya pengaplikasian teknologi informasi dalam industri agrikultur. E-commerce semacam ini tentu lebih mudah diterima oleh pemuda modern kota yang tertarik pertanian off-farm.

Inilah mengapa, transformasi kebijakan sektor pertanian yang menitikberatkan pada pendidikan, secara tak langsung tentu akan meningkatkan nilai tambah produk pertanian dan menciptakan lapangan kerja baru di perdesaan sekaligus menahan laju urbanisasi melalui perubahan mindset pemuda. Dengan pikiran yang kreatif, pemuda bisa menyelaraskan kehidupan pertanian dengan misi perawatan lingkungan hidup dan keindahan wisata pedesaan yang mampu menarik devisa dari para turis yang datang, dan memacu detak perekonomian Indonesia. Kultivasi lahan pertanian secara optimal oleh pemuda tentu mampu menaikan kualitas hidup masyarakat, dan merupakan arena bertumbuhnya rasa nasionalisme, partisipasi para pemuda Indonesia, dan menjadi harapan bagi kemajuan pertanian Indonesia di masa depan.

****

Referensi:

Berbagai sumber

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun