Mohon tunggu...
Sindi Darmawan Prasetyo
Sindi Darmawan Prasetyo Mohon Tunggu... Freelancer - Pembaca yang ingin menulis

Menulis sedikit tapi bermanfaat, karena memberi inspirasi lebih penting dari sekedar menjadi viral

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

"Financial Fair Pay" bagi Sepak Bola di Bawah Naungan Taipan

17 Juli 2020   16:09 Diperbarui: 17 Juli 2020   17:49 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar ilustrasi: cuatrecasas

Judul di atas bukan typo. Hanya karena satu huruf hilang, kata play berubah menjadi pay, permainan sepak bola menjadi permainan modal.

Financial Fair Play (FFP) menjadi isu sepekan terakhir. Regulasi UEFA yang punya tujuan mulia menghindarkan klub dari kebangkrutan, menjadi bias karena lolosnya pelaku pelanggaran dari sanksi berat.

Senin (13/7) Manchester City menang banding di pengadilan arbitrase olahraga internasional (CAS), sekaligus melunakkan sanksi UEFA atas pelanggaran FFP. Pelaku yang sama telah dua kali lolos dari jerat FFP.

Sejak diakuisisi taipan Sheikh Mansour pada 2008, Man City berkembang menjadi kekuatan besar di dalam dan di luar lapangan. Modal besar membuat mereka sangat kuat bersaing di pasar transfer, hingga leluasa memperkuat pemain dan pelatih.

Keabsahan penggunaan uang mereka mulai dipertanyakan saat pertama kali tersandung kasus FFP pada 2014. Mei 2014 UEFA menjatuhkan sanksi denda 49 juta pound akibat The Citizens kebablasan dalam memenuhi aturan FFP yang membatasi 21 pemain di Liga Champions 2014-2015.

Pada akhirnya 32 juta pound dari total sanksi tersebut akhirnya ditangguhkan.

Tahun ini UEFA kembali mengendus pelanggaran FFP Man City, setelah media Jerman Der Spiegel merilis hasil investigasinya. Der Spiegel menemukan nilai kontrak iklan dan sponsor yang telah direkayasa. Laporan pendapatan iklan dan sponsor sebesar 67,5 juta pound per musim disebut berasal dari kocek sang pemilik.

Praktik tersebut dilaporkan sudah terjadi selama periode 2012-2016. Hal ini dilakukan sebagai siasat untuk mengakali aturan FFP terkait jumlah modal maksimum dari pemilik klub.

Sejalan dengan hasil investigasi tersebut, dalam laman resmi UEFA, Badan Kontrol Keuangan Klub-klub UEFA (CFCB) mengeluarkan pernyataan pada 15/2/2020, "Manchester City terbukti menggelembungkan pemasukan sponsor di dalam neraca keuangan mereka dan informasi titik impas yang diserahkan ke UEFA antara 2012 dan 2016".

Atas temuan tersebut Man City dihukum dua musim larangan bertanding di kompetisi Eropa dan denda sebesar 30 juta euro.

Menurut the Sun, Man City merespon dengan menyiapkan 30 juta pound untuk menyewa 50 pengacara terbaik di Eropa.

Hasilnya pada sidang banding CAS (13/7), CAS tidak menemukan cukup bukti seperti yang dilaporkan CFCB, sekaligus meringankan hukuman Man City menjadi denda 10 juta euro.

Putusan tersebut mengundang reaksi keras dari pelaku sepak bola. Logika Man City dihukum karena pengadilan tetap menemukan kesalahan, tapi disanksi ringan disebut tidak masuk akal oleh Jose Mourinho.

"Dalam kasus ini, keputusannya sangat memalukan. Jika City tidak bersalah, maka mereka tidak dihukum denda 10 juta," kata Mourinho kepada NBC Sports.

Fakta berikutnya sanksi tegas UEFA yang seharusnya bisa membuat jera klub yang bermain-main dengan uang mereka, beberapa kali dipatahkan oleh klub raksasa.

Bukan hanya Man City, raksasa Italia AC Milan juga sempat lolos dari hukuman FFP. Investasi gagal Yonghong Li membawa klub pada keterpurukan finansial dan gagal memenuhi ambang batas kerugian FFP sebesar 45 juta euro selama periode 2014-2017.

AC Milan sejatinya sudah dijatuhi sanksi larangan bermain di kompetisi Eropa selama dua musim (2018/2019 dan 2019/2020). Tapi pemilik klub yang baru mampu meyakinkan UEFA bahwa mereka masih dalam tahap peralihan kepemilikan dan mustahil membawa klub memenuhi ambang batas FFP dalam waktu seketika. Sanksi AC Milan lalu ditangguhkan.

Beberapa klub juga tercatat pernah mendapat sanksi FFP, di antaranya Rubin Kazan, CSKA Sofia hingga Maccabi Tel Aviv. Tapi mereka gagal menghindari sanksi.

Apa yang membedakan mereka dengan Man City atau AC Milan? Apa mereka kurang punya modal untuk menggunakan akses lebih luas? atau mereka kurang pandai berkelit mencari alasan?

Apapun itu kasus Man City adalah bukti bahwa UEFA masih gagal menangani masalah FFP dengan baik sehingga mudah dipatahkan lewat banding. Dan melunaknya sanksi adalah bukti bahwa fair play adalah sesuatu yang sangat relatif dalam sepak bola.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun