Mohon tunggu...
Pendidikan

Pendidikan Pesantren Penangkal Radikalisme

13 Juli 2018   02:29 Diperbarui: 13 Juli 2018   07:51 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Radikal dalam konteks negatif, biasanya mengarah pada satu pemahaman tentang sikap dan pandangan yang militan, kuat dan keras dalam memperjuangkan aspirasi pendapatnya. Pemahaman yang paling umum tentang radikalisme mengarah pada suatu gerakan politik yang menjadikan agama sebagai basis ideologis.

Kelompok radikal menginginkan suatu perubahan yang besar dan pembaharuan sistem sosial dan politik berdasarkan prinsip-prinsip agama yang diyakininya dan seringkali menggunakan cara-cara kekerasan untuk mengubah secara drastis sistem yang selama ini dianggap sangat jauh dari nilai-nilai agama.

Sebagai gerakan politik yang berbasis agama, kelompok radikal seringkali menginginkan pembentukan negara berdasarkan prinsip syari'at. Mereka begitu yakin bahwa khilafah merupakan satu-satunya jalan untuk sampai pada keadilan yang paripurna.dan menganggap sisem demokrasi adalah system yang bukan islami.

Menurut Nadirsyah Hosen, setiap khalifah sejak masa Rasullullah SAW dipilih dengan cara berbeda. Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, beliau tak menunjuk pengganti (khalifah) secara spesifik—setidaknya menurut pemahaman Sunni. Karena itu, para Sahabat berdiskusi di Saqifah Bani Sa’idah untuk menetapkan Abu Bakar sebagai pengganti beliau. Abu Bakar menunjuk Umar ibn al-Khatthab. Mekanisme suksesi kepemimpinan berubah ketika Umar membentuk dewan khusus untuk memilih penggantinya, yang nantinya akan jatuh kepada Utsman ibn Affan. Namun khalifah ketiga ini tidak membentuk dewan pemilih seperti pendahulunya, sehingga para Sahabat dan penduduk Madinahlah yang bergerak untuk membai’at Ali ibn Abi Thalib sebagai khalifah keempat. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme suksesi tidak diatur secara baku dalam ajaran Islam.

Namun semua ini berubah ketika Muawiyah yang merupakan khalifah pertama Dinasti Umayyah, mengangkat Yazid, putranya yang diragukan kompetensinya untuk menggantikan posisi khalifah. Yazid bin Muawiyah jelas bukan manusia terbaik pada masanya. Hingga tidak ada satupun klaim bagi Muawiyah untuk mewariskan kursi kepemimpinan selain dengan alasan pertalian darah. Cara ini kemudian menjadi satu standar baku mekanisme pewarisan tahta di sistem pemerintahan bani Umayyah hingga berakhir pada tahun 750 M. Persoalannya cara ini terus diadosi oleh semua sistem pemerintahan Islam lain yang lahir setelahnya, mulai dari Abasiyyah, Fatimiyah, Saljuk, Mamluk, hingga yang terakhir Ottoman di Turki. Dari sinilah, konsep khalifah yang semula merupakan konsep individual, mengalami pembiasan dan bertransformasi menjadi konsep struktural-dinasti.

sistem khilafah dengan mendirikan Negara islam dengan satu mepemimpinan dengan sistem monarki sudah banyak di tolak oleh ulama' kontemporer untuk di terapkan pada zaman sekarang,karena ulama' sudah menyadari tidak cocok untuk di pakai di zaman sekarang

Memang sepanjang sejarah Islam itu sistem bernegara disebut khilafah. Tapi hilangnya khilafah Turki Utasmani tahun 1924, yang khlifahnya bernama Abdul Majid, maka muncullah konsep nasionalime. Betul konsep nasionalis itu dari Barat, tapi kita harus realistis, kita jangan mimpi kembali ke jaman khilafah. Asalkan nasionalisme kita berspirit Islam. Kita nasionalis tapi punya semangat Islam. Tidak nasionalis yang kering yang sekuler, tidak. ujar Ketua PBNU K.HSaid Aqil Siradj

Paham seperti itu tudak pernah di ajarkan di dalam pesantren, mungkin kitab yang menjadi pegangan pesantren tidak berbeda jauh dengan kaum penyeru khilafah seperti hal nya fathul Qorib atau fathul mu'in yang di situ menerangkan keharusan khilafah ( mendirikan Negara islam yang di pimpin satu kholifah ) namun sayangnya mereka ketika memahami sesuatu hanya dengan kontestual saja.

Sementara para santri, lebih menggunakan pendekatan kontekstualis dalam memahami teks, apakah itu dari Al Qur'an, Sunah, atau dari kitab kuning. Para santri mampu mendialogkan antara teks dan konteks, antara sisi historis dari teks dan bentuk kontekstualisasi dari penerapan teks tersebut di zaman yang lebih kekinian. Itu artinya bahwa kelompok radikal seringkali tidak mengerti tentang aspek-aspek historis dari kemunculan doktrin agama.

Misalnya, para santri lebih memaknai istilah jihad siyasah (politik) dalam konteks keindonesiaan. Karena memang penerapan sistem bernegara di Indonesia sudah sangat dekat dengan cita rasa Islam. Seperti prinsip demokrasi dengan musyawarah, prinsip berketuhanan, berkeadilan, ataupun cita-cita kesejahteraan bersama, tidaklah menyalahi aturan Islam yang baku, justru memiliki makna yang searah.Tidak sebagaimana kaum radikal yang bahkan dalam memaknai sistem pemilu tak lebih sebagai al-intiqaf fil Islam (pemilu yang haram).

dan juga para santri lebih dapat bersikap kritis terhadap pengkajian kitab kuning, mereka mencari titik temu antara teks dan konteks, dan tentu saja mencari kesesuaian yang mutlak antara prinsip teks dengan realitas yang berkembang .

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun