Mohon tunggu...
Si Murai
Si Murai Mohon Tunggu... Editor - Itu, burung kecil berekor panjang yang senang berkicau!

“Do not ask who I am and do not ask me to remain the same. More than one person, doubtless like me, writes in order to have no face.” ― Michel Foucault

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Naskah Bencana Alam dalam Membentuk Budaya Sadar Bencana

21 September 2019   00:01 Diperbarui: 1 Oktober 2019   03:59 995
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Naskah ML 464 Koleksi Perpusnas berjudul Ramalan tentang Gempa, Obat, Doa, Azimat. (Sumber: Dokpri)

Potensi terhadap ancaman bencana alam di negeri ini telah menjadi pengetahuan umum yang sudah selayaknya kita pahami dengan sadar. Indonesia dikelilingi oleh Cincin Api Pasifik atau Ring of Fire dan terletak di pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. 

Kondisi geografis tersebut menjadikan negara dengan gugusan kepulauan terbesar di dunia ini rawan bencana alam, seperti gempa bumi, letusan gunung api, dan tsunami. Kesadaran akan hal ini sepatutnya menggiring kita semua ke dalam upaya penanggulangan bencana yang optimal dan serius.

Pihak yang berperan dalam upaya penanggulangan bencana tidak hanya badan pemerintah yang terkait, tetapi seluruh masyarakat di berbagai lapisan. 

Pemerintah pusat dan daerah, lembaga usaha, lembaga internasional, dan setiap orang dari berbagai latar belakang profesi memiliki peran masing-masing dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Semua ini diatur dalam UU RI Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Menilik jauh ke belakang, perhatian terhadap bencana alam bahkan telah dimiliki oleh para leluhur kita. Hal ini dapat terlihat dari catatan-catatan tulisan tangan dalam manuskrip atau naskah kuno. Ada banyak naskah di Indonesia yang isinya mengandung rekaman sejarah bencana alam yang terjadi di wilayah yang menjadi sumber naskah tersebut.

Naskah atau manuskrip adalah semua peninggalan tertulis nenek moyang pada kertas, lontar, kulit kayu, dan rotan. Peninggalan ini ditulis dalam berbagai bahasa daerah yang menjadi sumber naskah tersebut dengan menggunakan aksara daerah tersebut. Akan tetapi, ada pula naskah yang ditulis dengan menggunakan huruf Arab. 

Isi naskah beraneka ragam, antara lain cerita yang berkaitan dengan sejarah dan keagamaan, pengetahuan mengenai obat-obatan, astrologi, pertanian, cerita pelipur lara, dan lain-lain. Sebagai perekam berbagai segi warisan budaya bangsa Indonesia, penelaahan terhadap naskah penting dilakukan dalam rangka pemanfaatan kandungan informasi di dalamnya bagi kehidupan di masa sekarang.

Informasi mengenai bencana alam yang terdapat dalam naskah tidak hanya berisi rekam jejak bencana alam yang pernah terjadi di wilayah yang menjadi sumber naskah tersebut berabad-abad silam. 

Lebih jauh, naskah-naskah ini juga memuat sejumlah kearifan lokal yang patut dicontoh dan diterapkan ketika bencana alam melanda negeri ini. Tidak hanya itu, informasi di dalamnya juga berguna dan relevan dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana yang lebih menyeluruh dan tepat sasaran.

Penelitian terkait bencana alam berbasis teks naskah ini telah dilakukan oleh para ahli filologi dengan cukup intens sejak sekitar dua tahun ke belakang. Hasilnya, ada banyak naskah yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia yang isinya berkaitan dengan bencana alam. Tercatat setidaknya ada enam wilayah yang diketahui memiliki naskah yang berisi informasi mengenai bencana alam. 

Keenam wilayah ini juga merupakan wilayah di Indonesia yang rentan mengalami bencana alam, yaitu Aceh, Jawa Tengah, Sumatra Barat, Jawa Barat, Banten, dan Nusa Tenggara Barat (NTB).

Beberapa naskah bencana alam yang berhasil dikumpulkan dari berbagai wilayah di Indonesia sebagaimana yang telah disebutkan, antara lain naskah Ta'bir Gempa, Babad Lombok, Lontarak Pangissengeng, dan Warugan Lemah. Naskah-naskah ini ditulis dalam media kertas dan lontar dengan menggunakan aksara daerah masing-masing dan Arab. 

Bahasa yang digunakan adalah bahasa daerah sumber naskah tersebut dan Melayu. Naskah-naskah tersebut tersebar dan menjadi koleksi, baik perpustakaan maupun perorangan di Indonesia dan luar negeri.

Salah satu naskah bencana alam dari Aceh secara khusus membicarakan gempa. Naskah yang dimaksud berisi takwil gempa atau yang biasa disebut dengan naskah Ta'bir Gempa

Perihal gempa sendiri tidak secara khusus dibicarakan dalam satu naskah, tetapi bersamaan dengan teks lainnya yang terdiri dari kumpulan doa-doa, tata cara salat, nasihat-nasihat, obat-obatan, azimat, dan lain-lain. Gempa dalam naskah Ta'bir Gempa dimaknai berdasarkan waktu kemunculannya dalam perhitungan bulan hijriah dan dampak yang ditimbulkan atau kondisi pascagempa. 

Pemaknaan ini diperoleh sebagai sebuah hasil pengalaman yang diwariskan untuk tujuan pengetahuan penanggulangan bencana, seperti penanganan dan mitigasi, bagi generasi mendatang. 

Jadi, naskah ini sesungguhnya bukanlah sebuah ramalan atau prediksi masa depan, melainkan rekaman peristiwa yang telah terjadi pada masa lalu yang kemudian diproses menjadi pengetahuan mengenai takwil gempa.

Sebagai contoh, dalam teks Ta'bir Gempa terdapat bagian yang berbunyi,

Bab pada menyatakan gempa pada bulan Ra'jab, jika waktu Dhuha
gempa alamat akan air laut keras padanya

Berdasarkan catatan sejarah, gempa yang berakibat tsunami pernah terjadi di wilayah barat Aceh dan Simeulu pada hari Senin, 25 November 1833 pukul 10.20 WIB atau waktu Duha. Jika dikonversikan, waktu tersebut bertepatan dengan tanggal 12 Rajab 1249 H. Air laut keras pada teks tersebut dimaknai sebagai tsunami yang menghantam wilayah darat. Artinya, teks tersebut merekam peristiwa bencana yang terjadi pada masa itu.

Pemaknaan yang kurang lebih sama juga ditemukan dalam naskah Lontarak Pangissengeng yang berasal dari Bugis (Sulawesi). Dalam naskah ini, bencana alam, khususnya gempa merupakan suratan takdir Ilahi. Naskah ini mengajak kita untuk lebih melihat hikmah dari terjadinya peristiwa gempa. 

Hal ini tampaknya cukup rasional mengingat bencana alam yang terjadi di negeri kita, di sisi lain memberi dampak bagi kesuburan alam Indonesia. Sebagai contoh, debu akibat letusan gunung api dapat menyuburkan tanah. Selain itu, jalur Ring of fire memberikan potensi energi tenaga panas bumi yang dapat digunakan sebagai sumber tenaga alternatif. 

Peristiwa bencana alam dalam naskah juga sering kali dikaitkan dengan hubungan manusia dengan Tuhan. Beberapa bait dalam Babad Lombok menceritakan kisah meletusnya gunung api di Lombok, yaitu Gunung Rinjani dan Gunung Samalas. Bencana alam tersebut dituliskan terjadi selama tujuh hari akibat murka Tuhan kepada makhluk-Nya. Berikut kutipan teksnya,

Tatkala zaman itu, Tuhan murka kepada makhluk-Nya,
tengah malam datangnya, hujan dan angin taufan, semua 
kayu dan batu gunung rubuh, longsoran batu membanjir,
melanda dari puncak bukit.

 *

Gunung Rinjani longsor, dan gunung Samalas runtuh,
banjir batu gemuruh, jatuh di desa Pamatan, lalu hanyut
rumah lumpur rubuh, terapung-apung di lautan, 
penduduknya banyak yang mati.

 *

Tujuh hari lamanya, gempa dahsyat meruyak bumi,
terdampar di Leneng (Lenek), diseret oleh batu gunung
yang hanyut, manusia berlari semua, sebahagian lagi naik 
ke bukit.

Membaca bencana dalam naskah sebagai warisan budaya, pada hakikatnya adalah mengembalikan kearifan lokal sebagai bagian dari upaya penanggulangan bencana. 

Hal ini penting mengingat budaya sadar bencana masyarakat yang notebene merupakan bagian dari keberasalan naskah-naskah tersebut akan lebih tumbuh bila upaya penanggulangan bencana tersebut menggunakan pendekatan kearifan lokal, khususnya berbasis teks naskah. Berkaitan dengan kearifan lokal ini tampaknya telah dibuktikan oleh tetap kokohnya rumah adat Lombok meskipun gempa menerpa wilayah tersebut pada hampir sepanjang 2018.

Pada berikutnya, naskah-naskah bencana alam ini yang turut diperankan dalam upaya penanggulangan bencana, juga perlu dilestarikan sebagai bagian dari upaya menjaga warisan budaya. 

Budaya sadar bencana yang telah tumbuh perlu juga ditularkan dalam upaya pelestarian naskah-naskah tersebut, khususnya, agar tidak hancur, rusak, dan punah oleh bencana alam yang bisa sewaktu-waktu terjadi di negeri ini. Kita jaga alam, alam jaga kita. 

Sumber:
Hermansyah. 2012. Naskah Ta'bir Gempa: Antara Mitigasi Bencana dan Kearifan Lokal di Aceh (Kajian terhadap Naskah-Naskah Kuno).
Tim Penulis. 1999. Pengkajian Nilai Budaya Naskah Babad Lombok Jilid I.
Tim Penulis. 1991/1992. Lontarak Pangissengeng Daerah Sulawesi Selatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun