I. Pendahuluan
Konflik Israel-Palestina, yang berakar pada klaim historis, agama, dan teritorial sejak berakhirnya Mandat Inggris pada tahun 1948, tetap menjadi salah satu isu geopolitik paling kompleks di dunia. Solusi dua negara, yang didasarkan pada Garis Hijau (Garis Gencatan Senjata 1949/1967), telah lama menjadi acuan utama, didukung oleh Resolusi Dewan Keamanan PBB 242 (1967) dan Deklarasi New York Sidang Umum PBB 2025, yang disetujui oleh 142 negara. Namun, pada 27 September 2025, setelah Perang Israel-Hamas 2023-2025 berakhir dengan gencatan senjata yang rapuh pada Januari 2025, prospek solusi ini semakin suram. Survei Pew Research Center (Februari-Maret 2025) menunjukkan bahwa hanya 21% warga Israel (16% warga Yahudi Israel) yang percaya pada koeksistensi damai, turun 14 poin dari 2023, dengan 75% menyebutkan ketidakpercayaan sebagai hambatan utama, diikuti oleh status Yerusalem (70%) dan pemukiman (52%).
Para ahli seperti Dr. Cynthia Day Wallace dan Eugene Kontorovich, bersama dengan The Hague Initiative for International Cooperation (thinc.), menegaskan bahwa "Garis Hijau bukanlah batas internasional, melainkan garis demarkasi militer sementara dari Perang Arab-Israel 1948". Resolusi 242 hanya mengharuskan Israel untuk menarik diri dari "wilayah" (bukan "semua wilayah") guna mencapai "perbatasan yang aman dan diakui" melalui negosiasi, sebagaimana dijelaskan oleh penyusun resolusi, Baron George-Brown dan Lord Caradon. Dengan hambatan seperti pemukiman, perpecahan Fatah-Hamas, dan ketidakpercayaan yang mendalam, solusi dua negara, konfederasi binasional, atau negara demokratis tunggal tampak seperti mimpi belaka. Artikel ini mengusulkan pendekatan realistis berdasarkan Perjanjian Oslo II, demiliterisasi Hamas, Reformasi Struktural Otoritas Palestina (PA), dan integrasi dengan Abraham Accords, dengan mediasi Norwegia dan peran konstruktif Amerika Serikat (AS).
II. Mengapa Solusi Dua Negara Sulit untuk Diwujudkan?
1. Garis Hijau dan Pemukiman Israel: Perspektif Hukum dan Keamanan
Solusi dua negara sering mengasumsikan Garis Hijau sebagai dasar perbatasan. Namun, Wallace dan Kontorovich menegaskan bahwa Garis Hijau, yang ditetapkan dalam Perjanjian Gencatan Senjata 1949, hanyalah garis demarkasi militer tanpa status hukum permanen. Resolusi 242 sengaja menghilangkan kata "the"Â sebelum "territories" untuk memberikan fleksibilitas dalam negosiasi, bukan kewajiban untuk kembali ke garis 1967. Sebelum 1967, Tepi Barat tidak berada di bawah kedaulatan negara lain (Yordania menduduki wilayah tersebut secara ilegal dari 1948 hingga 1967 tanpa pengakuan luas), dan Israel memiliki klaim berdasarkan Mandat Palestina 1922 dan prinsip uti possidetis juris.
Perjanjian Oslo II (1995) memberikan Israel kendali penuh atas Area C (60% dari Tepi Barat), yang akan menjadi tempat tinggal bagi lebih dari 700.000 warga Israel pada tahun 2025, termasuk Proyek E1 dengan 3.400 unit perumahan baru untuk mengamankan Yerusalem. AS pada tahun 2019 menyatakan bahwa pemukiman tidak melanggar hukum internasional, posisi yang dipertahankan hingga 2025, meskipun putusan Mahkamah Internasional (ICJ) pada Juli 2024 menyatakan pemukiman tersebut ilegal, memicu gerakan BDS terhadap 158 perusahaan global (OHCHR, 2025). Survei PCPSR (Mei 2025) menunjukkan bahwa 70% warga Palestina memandang pemukiman sebagai "penyitaan tanah," sementara 55% warga Israel menganggapnya sebagai kebutuhan keamanan. Pertumbuhan pemukiman sebesar 3-4% per tahun menghambat kontinuitas wilayah Palestina, sehingga solusi dua negara berdasarkan Garis Hijau hampir tidak mungkin terwujud.
2. Perpecahan Palestina: Fatah, Hamas, dan Krisis Tata Kelola
Palestina terbagi antara Fatah, yang mengelola Otoritas Palestina (PA) di Tepi Barat, dan Hamas, yang telah menguasai Gaza sejak 2007. Hamas menolak Perjanjian Oslo sebagai pengkhianatan, sementara Fatah sering dituduh bekerja sama dengan Israel. Upaya rekonsiliasi, seperti Mecca Agreement (2007) dan Cairo Hamas-Fatah Agreement (2011), telah gagal total. Pada 2025, dukungan Israel terhadap faksi Fatah di Gaza untuk melemahkan Hamas memperparah polarisasi. JPost (2022), Omsac (2025), Palestinian Research Institute AMAN (2025) dan Survei oleh PCPSR (Mei 2025)Â menunjukkan bahwa tingkat kepuasan terhadap kinerja Hamas turun menjadi 57% (67% di Tepi Barat dan 43% di Jalur Gaza), diikuti oleh Fatah (24%; 19% di Tepi Barat dan 31% di Jalur Gaza), Otoritas Palestina (23%; 28% di Jalur Gaza dan 19% di Tepi Barat), Presiden Abbas (15%; 13% di Tepi Barat dan 19% di Jalur Gaza), dengan 81% menginginkan Presiden Abbas mundur, dan 32% warga Palestina lebih memilih mendukung Hamas serta 21% mendukung Fatah, mencerminkan fragmentasi politik. Krisis tata kelola Otoritas Palestina juga sangat parah: 82,3% warga Palestina memandang Otoritas Palestina sebagai otoritas korup, dengan elit menikmati gaji hingga NIS 16.760 ($5.000) dan NIS 20.112 ($6.000) per bulan, sementara pegawai negeri sipil tingkat rendah hanya menerima NIS 1.257 ($375), dan NIS 4.022 ($1.200) untuk pegawai negeri tingkat tinggi PA, dan penundaan pemilu sejak 2006 telah merusak legitimasi otoritas tersebut. Ketidakmampuan Palestina untuk menjadi mitra negosiasi yang solid merupakan hambatan utama.
3. Ketidakpercayaan Israel: Keamanan dan Persepsi Publik