Mohon tunggu...
Seno Rocky Pusop
Seno Rocky Pusop Mohon Tunggu... Penulis - @rockyjr.official17

सेनो आर पूसॉप जूनियर

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ironi di Tengah Harapan dan Kenyataan

15 November 2023   13:58 Diperbarui: 15 November 2023   15:43 432
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar. Ilustrasi ironi (bedavainternet.com.tr)

Apa yang kita lihat dan rasakan saat ini memang merupakan suatu fenomena yang luar biasa, anggun dan fundamental. Hal ini juga patut disayangi, layak dipertahankan dan tidak mudah untuk dilupakan.

Tetapi juga terkesan sangat menakutkan, aneh dengan penderitaan dan tragedi serta penuh ironi. Seketika harapan dan kenyataan datang, semuanya tampak normal dan biasa saja.

Anda mungkin bertanya-tanya apa yang membuat segala sesuatunya benar atau bahkan salah sejauh ini. Yang terlihat adalah kepedihan dan kebimbangan, seolah kapal yang terombang-ambingkan di tengah laut.

Mengakui hal ini pada diri sendiri dan orang lain berarti berempati. Empati, bukan simpati, menuntun setiap orang pada perasaan cinta dan solidaritas. Tapi pertanyaannya, adakah yang peka terhadap semua ini?

Kita mulai dari surga dimana segala sesuatunya benar dan salah, kata siapa pun yang memiliki kesadaran akan apa yang sedang terjadi. Kesangsian di tengah gejolak dan konflik yang berkepanjangan serta peradaban yang terus melaju.


Harapan dan kenyataan beracampur riuh dalam satu ironi. Pada saat yang persamaan, negeri ini telah menjadi dunia yang membosankan. Hanya ada pilihan untuk bangkit atau tetap berdiri dan terus menjalani.

Surga yang terlantar tampaknya semakin cepat menuju suatu akhir yang sudah terlihat. Bukan akhir dalam istilah eskatologi, melainkan sudut pandang orang yang berasumsi bahwa Papua yang begitu fenomenal bergerak di zaman dan era yang berbeda.

Pergerakannya berakhir pada sesuatu. Sebuah "sesuatu" yang dibayangkan kebanyakan orang. Apa itu sesuatu? Ada atau tidak? Aku akan tetap optimis dan tidak membeberkan pengetahuan atau asumsi apa pun tentang puncaknya nanti.

Aku tidak tahu, membuat asumsi apa pun. Satu-satunya titik fokus aku adalah melihat dinamika dan fenomena di sini saat ini. Revolusi Papua yang terjadi ibarat detak jantung, terus menerus memompa dan berubah dengan tempo yang konstan. 

Namun kesenjangan antara satu revolusi dan revolusi lainnya kini lebih besar dari sebelumnya. Sikonnya terus-menerus diganggu dan ditantang tanpa menyisihkan ruang untuk bernafas. Dialektika Hegelianisme yang kejam bergerak lebih cepat.

Ironi tragis juga bisa berarti ironi dramatis dalam fenomena. Bencana dan tragedi adalah dua hal yang serupa, namun bersifat menyesatkan.

Tragedi berarti bencana dalam keadaan tertentu, ironisnya kita bisa membaca dan merasakannya dengan mendeskripsikan kembali konflik kehidupan nyata dengan menggunakan pemahaman dialektis tentang ironi dan tragedi.

Karena konflik Papua yang terjadi menimbulkan bencana, sehingga mengesampingkan cerita dan kasus ironi tragis dalam konteks faktual dan kontrafaktual.

Kenyataan ini menimbulkan perasaan janggal, segala upaya meredam dinamika Papua yang begitu bergejolak dan mencekam, berada pada situasi yang masih jauh dari harapan. Apa yang dibayangkan orang Papua di dunia saat ini masih dalam keadaan yang ironis.

Tanpa menyurutkan semangat juang orang Papua, bahkan jauh sebelum hari-hari mengerikan menjadi sebuah peringatan, situasi yang dihadapi orang Papua masih dalam keadaan pedih dan pilu.

Banyak hal yang terdokumentasikan, kini kita mempunyai hak istimewa untuk melihat dan mengetahui lebih jauh tentang Papua.

Namun semakin sulit untuk memahami berbagai permasalahan yang terus mewarnai kehidupan di muka bumi, seperti pelanggaran hak asasi manusia, manipulasi, tuduhan dan penerapan hak yang belum diakui sebagai sebuah tindak kriminal.

Fenomena yang terjadi di Papua umumnya menempatkan orang Papua menjadi korban. Keprihatinan tersebut menunjukkan bahwa masih banyak orang yang tidak terlindungi, bahkan oleh undang-undang konstitusi negara.

Hal ini membawa kita pada pertanyaan "Apakah surgaku di dunia ini?" rasanya sulit untuk menempatkan diri kita di surga ini.

Harapan dan kenyataan berubah dengan cepat, gagasan utopis untuk membangun "surga yang lebih baik" membingungkan telah meningkat dan menurun dengan kecepatan yang sama. Ini semua tentang konsepsi abstrak manusia tentang surga di bumi Cenderawasih.

Sebut saja surga yang menjadi sarang penyamun, rakyat minoritas, komune anarkis, etnostat dan tatanan liberal. Satu cita-cita akhirnya digantikan oleh cita-cita lain dalam sekejap.

Kerugian dan penderitaan tak ada arti apa pun dari hasil konflik. Pemenangnya menderita, tapi lebih baik tidak menang. Yang kalah menderita, tapi tidak akan lebih baik jika mereka menang. 

Kekalahan total akan lebih baik daripada kekalahan bersyarat. Eksplanasi ini menunjukkan betapa ironisnya kesenjangan anatara harapan dan kenyataan dalam konteks yang tidak tertulis dan semua keadaan dan problem ini sangat kontroversial.

Semua hal tersebut hanya berdasarkan kondisi nyata yang dialami orang Papua. Hidup di negeri yang serba salah tidak hanya membuat orang takut dan bahagia. 

Konflik cenderung menjadi fenomena gunung es di lautan, dimana terdapat lebih banyak konflik yang belum terungkap daripada yang terlihat. Kini publik menginginkan jawaban yang tepat dan cepat atas perubahan ironi tersebut.

Keadaan ini merupakan gambaran tentang ironi kehidupan dan manusia Papua. Bukan saja karena fakta-fakta yang memilukan masih terjadi di tengah upaya untuk menempatkan orang Papua dalam martabat yang sejajar dengan bangsa lain, tetapi juga karena paradoks yang masih terjadi dan menjadi ironi dalam kehidupan di negeri ini.

Situasi ini sungguh ironis, artinya sikap acuh tak acuh terhadap Papua dan berbagai peristiwa di dalamnya. Kontradiksi antara hasrat dan anarki sejarah Papua menyebabkan masyarakat seolah-olah hidup di dunia yang tidak dapat menemukan tempat tinggal, kemudian menyadari betapa absurdnya hubungan antara intropektif dan retrospektif. Tindakan tersebut justru menghancurkan kehidupan orang Papua.

Semua orang tentu enggan mendengar dan melihat keresahan yang terus terjadi di Papua. Namun sayangnya, fakta ketimpangan politik, sosial, ekonomi dan insfrastruktur di Papua memang sangat rentan menjadi modal ketidakpastian dan ketidakpuasan yang dapat berujung pada konflik. Masa lalu telah dilupakan, masa depan tidak dapat dibayangkan dan situasi saat ini masih belum menentu.

Bagaimana orang Papua berpijak di alam semesta yang terus-menerus didorong oleh arus waktu? Faksi demi faksi, keyakinan demi keyakinan, kawanan demi kawanan, kebohongan demi kebohongan, orang menjadi muak dengan segala kekecewaan dan rasa aman yang palsu. Segala -isme yang dianutnya berakhir pada kesimpulan yang sama yaitu penyesalan dan kekecewaan.

Permainan kata di sini sanagat fix karena terkesan ironis. Menyangkal kerinduan akan makna dan keadilan melalui kepasrahan dalam pengorbanan demi kejelasan dan kepuasan. Segala sesuatu yang telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terjadi dipandang tak lebih dari sebuah permainan. 

Politik, moralitas dan budaya tidak lebih dari sekedar hiburan. Keterikatan yang ironis terhadap ideologi Papua atau dukungan terhadap sekutu. Orang-orang yang merasa kecewa dan diremehkan, masyarakat yang ironis kini bisa dilihat atau ditipu, sinisme dan sikap apatis mendominasi di tengah harapan dan kenyataan.

Namun sebagian dari mereka masih berkeyakinan, ada satu hal yang tak segan mereka klaim. Meski fenomena ini selalu memimpikan harapan dan kenyataan. Untuk mencapai surga di bumi, Anda harus mengubah rasa sakit emosional menjadi kekuatan dan menggunakan kekuatan itu untuk mengubah ketakutan dan kecemasan menjadi cinta tanpa syarat.

Jika dunia ini bahagia, maka bayi yang dilahirkan seharusnya tertawa, bukan menangis. Jadi, aku hanya ingin bilang, cintailah dengan keras dan berpikirlah kritis. Temukanlah alasan yang tepat untuk tertawa dan menangis di dunia ini demi kebahgiaan dan kenyamanan.

Keegoisan manusia meskipun akan ada dalam hati kita masing-masing, kita harus tetap objektif dalam menghadapi semua ini. Namun, hati yang gigih akan mampu melewati akhir tersebut.

Orang yang dengan tulus menemukan tujuan untuk mengabdikan dirinya telah menemukan landasan untuk melangkah dengan percaya diri menuju akhir tersebut. Melihat akhir dalam diri sendiri dengan komitmen penuh terhadap tujuan. 

Jalan menuju keabadian merupakan tujuan yang dapat dicapai dengan mendedikasikan seluruh kekuatan dan energi. Nicsaya, tidak menutup kemungkinan surga kecil ini akan tercatat dalam lembaran sejarah. Itulah keabadian yang ingin kita capai dan klaim.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun