Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, baru saja meresmikan penerapan sistem e-budgeting dan e-voting di tingkat desa pada 3 Juni 2025. Langkah ini menandai komitmen serius pemerintah provinsi untuk mendigitalisasi pengelolaan anggaran dan proses demokrasi. Gubernur Dedi Mulyadi meyakini, langkah ini akan membuka jalan bagi transparansi, efisiensi, dan partisipasi warga yang lebih besar dalam pengelolaan anggaran dan proses demokrasi desa.Â
Namun, di balik optimisme mengenai potensi digitalisasi ini, penting untuk menelisik lebih dalam. Sejauh mana inovasi ini benar-benar baru, aman, dan efektif? Apalagi jika mengingat jejak sejarah dan tantangan teknis yang kerap membayangi implementasi sistem digital di Indonesia, terutama dalam konteks pemilihan elektronik yang masih menyisakan banyak keraguan. Â Artikel ini mengupas secara kritis dua aspek utama digitalisasi desa di Jawa Barat: e-budgeting dan e-voting. Fokus pembahasan akan diarahkan pada manfaat yang dijanjikan, tantangan di lapangan, serta potensi risiko yang perlu diantisipasi dalam proses implementasinya.Â
E-Budgeting: Transparansi atau Sekadar Formalitas Digital?
Langkah Gubernur Jawa Barat yang mewajibkan seluruh desa menggunakan sistem e-budgeting memang tampak progresif. Semua transaksi desa, mulai dari pemasukan hingga pengeluaran, kini harus dilakukan lewat transfer dan tercatat dalam sistem digital. Tujuannya jelas, yaitu membangun transparansi, akuntabilitas, dan mencegah kebocoran anggaran di tingkat akar rumput.
Namun, penting digarisbawahi: ini bukan hal baru.
Jauh sebelum kepemimpinan Gubernur saat ini, Pemprov Jabar sudah mulai menguji coba sistem e-budgeting sejak 2017 untuk anggaran tahun 2018. Bahkan saat itu, sistem ini sudah menyasar pada integrasi data anggaran dari semua Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan memberikan akses real-time bagi gubernur dan sekda untuk memantau penyerapannya.
Dengan demikian, apa yang diklaim sebagai 'langkah baru' ini sejatinya lebih merupakan penguatan dan perluasan dari kebijakan terdahulu, bukan inovasi yang sepenuhnya orisinal.
Keunggulan yang Ditawarkan, Setidaknya di Atas Kertas
Secara konsep, e-budgeting memang menjanjikan banyak hal. Dengan semua transaksi keuangan desa dilakukan secara digital, proses administrasi jadi lebih cepat dan rapi. Gubernur dan Sekda bahkan bisa memantau langsung kondisi keuangan setiap desa secara real-time tanpa harus menunggu laporan manual yang biasanya makan waktu dan rawan manipulasi.
Transparansi pun jadi jargon utama. Karena semua pemasukan dan pengeluaran terekam otomatis dalam sistem, peluang penyelewengan bisa ditekan. Proses audit lebih mudah, dan setiap rupiah yang keluar bisa ditelusuri asal-usul dan penggunaannya. Sistem ini, kalau berjalan sesuai rencana, seharusnya mampu memotong mata rantai korupsi yang kerap terjadi di level desa.
Tapi, seperti banyak hal dalam birokrasi digital, realita di lapangan tidak sesederhana visi besar yang diumumkan ke publik.
Digital Bukan Berarti Otomatis Efisien
Masalah paling mendasar ada pada infrastruktur. Banyak desa di Jawa Barat, apalagi yang jauh dari kota, masih kesulitan mengakses internet yang stabil. Perangkat kerasnya terbatas, dan SDM-nya belum tentu siap menggunakan sistem digital dengan lancar. Kalau tidak dibarengi dengan pelatihan serius dan pendampingan teknis, e-budgeting bisa jadi hanya sebatas formalitas: penginputan data asal-asalan sekadar menggugurkan kewajiban.