Di era serba cepat, banyak pelajar terjebak pada kenyamanan instan. AI dijadikan jalan pintas, bukan alat bantu. Tugas-tugas diselesaikan dengan sekali klik, tanpa memahami proses berpikir di baliknya. Padahal, teknologi—termasuk Artificial Intelligence (AI)—diciptakan untuk memperkuat nalar, bukan menggantikannya.
Kita hidup di zaman di mana informasi bertebaran dan jawaban bisa ditemukan dalam hitungan detik. Namun, justru di tengah kelimpahan itu, rasa ingin tahu makin langka. Banyak dari kita berhenti pada hasil pertama, merasa cukup tahu tanpa benar-benar paham. Fenomena ini tak hanya memengaruhi cara belajar, tapi juga cara kita memaknai proses pembelajaran itu sendiri.
Sekarang mari lihat AI—yang sering dianggap "pintar." Padahal, AI tidak lahir dalam kepintaran. Ia tumbuh dari kumpulan kegagalan, dari data yang bias, dari algoritma yang meleset. Setiap kesalahan dijadikan pelajaran. Setiap iterasi adalah langkah menuju perbaikan. Proses ini dikenal sebagai supervised learning dalam ilmu komputer, di mana sistem dilatih terus-menerus hingga akurat. Bahkan model sekelas GPT yang kita gunakan sekarang dibentuk dari triliunan parameter dan jutaan kali pelatihan ulang. Tanpa kegagalan, tidak ada kecerdasan buatan.
Ironisnya, kita—manusia yang punya akal dan rasa—sering kali berhenti belajar setelah satu jawaban ditemukan. Kita ingin cepat selesai, tapi enggan untuk berproses. Kita bangga memakai AI, tapi lupa meneladani semangat belajarnya.Â
Psikolog Carol Dweck menyebut konsep ini sebagai growth mindset—yakni pola pikir yang percaya bahwa kemampuan bisa berkembang melalui usaha, strategi, dan refleksi. Bukan hasil instan. Bukan sekali klik. Sayangnya, banyak dari kita terlalu malu mengulang, cepat menyerah, dan terbiasa mencari jawaban instan tanpa benar-benar memahami prosesnya. Nyatanya, proses itulah inti dari pembelajaran.
Sebuah studi yang diterbitkan pada Mei 2024 di International Journal of Educational Technology in Higher Education menyoroti dampak penggunaan AI secara berlebihan di kalangan mahasiswa, khususnya terhadap ketergantungan pada ChatGPT. Studi ini menemukan bahwa penggunaan AI yang berlebihan dapat memicu penurunan motivasi belajar dan menurunnya kreativitas. Selain itu, risiko penyebaran informasi yang tidak akurat serta melemahnya kemampuan berpikir kritis dan kemandirian berpikir juga meningkat.Â
Fenomena ini bukan hanya soal tugas sekolah atau kuliah. Ini soal karakter. Tentang bagaimana kita menyikapi ketidaktahuan, tentang keberanian untuk mengulang, dan kesediaan untuk bertumbuh. AI yang cerdas hari ini adalah hasil dari ribuan kegagalan yang diterima dan diperbaiki. Sayangnya, manusia justru sering menghindari kegagalan, terlalu malu mengulang, terlalu gengsi mengakui kesalahan, dan terlalu cepat menyerah saat menemui kesulitan. Mungkin yang perlu kita tiru dari AI bukan kecerdasannya, tapi semangat belajarnya.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI