Loyalitas kerap dipandang sebagai ketaatan total kepada pimpinan. Padahal, idealnya loyalitas karyawan lebih dari sekadar patuh mengangguk; ia harus berakar pada nilai, integritas, dan tujuan bersama organisasi.Â
Simon Sinek bahkan mengingatkan:
"Strong leaders earn loyalty. Weak leaders demand it"
Artinya pimpinan yang kuat meraih loyalitas secara alami, bukan menuntutnya dengan paksa. Dengan kata lain, loyalitas sejati muncul dari inspirasi dan teladan, bukan dari perintah tanpa pikir panjang. Peter Drucker pun menegaskan bahwa manajer yang baik itu "pelayan" lembaganya, ia tunduk pada institusi, bukan pada ambisi diri pribadi. Dari sini jelas bahwa setia pada nilai organisasi berarti mengutamakan misi bersama di atas perintah semata.
Loyalitas Sejati vs Kepatuhan Membabi Buta
Loyalitas sejati mencerminkan komitmen pada tujuan dan nilai bersama organisasi, bukan hanya figur pemimpin. Beberapa perbedaan pokoknya misalnya:
- Loyalitas Sejati: Berarti memegang teguh prinsip, integritas, dan misi organisasi. Karyawan akan bersikap jujur, memberi masukan, bahkan menolak perintah yang bertentangan nilai. Mereka berani menyuarakan ide demi perbaikan, karena percaya kesuksesan tim lebih penting daripada menyenangkan ego pimpinan.
- Kepatuhan Membabi Buta: Berarti mengikut arahan pimpinan tanpa ampun, walau bertentangan hati nurani atau prinsip. Kepatuhan jenis ini sering muncul dari takut kehilangan posisi atau mendapat sanksi. Akibatnya, budaya kerja bisa menjadi kaku dan tak sehat karena kritikan konstruktif tenggelam oleh rasa takut dianggap "tidak loyal".
Simon Sinek menyindir bahwa jika seorang bos hanya menuntut loyalitas buta, kemungkinan ia adalah pemimpin lemah. Sebaliknya, manajer visioner seperti Drucker berpendapat bahwa kekuatan organisasi terletak pada tim, bukan sekadar perintah satu orang. Ketika seorang pemimpin lebih banyak berkata "kita" ketimbang "saya", itu membangun kepercayaan dan rasa memiliki yang sejati.
Budaya organisasi yang terlalu hierarkis berisiko menimbulkan banyak masalah serius, terutama di BUMN dan lembaga pemerintah. Data KPK menunjukkan fenomena tak sehat berikut:
- Nepotisme dalam Rekrutmen: Sekitar satu dari lima pegawai negeri mengaku ada tindakan nepotisme sejak awal rekrutmen. Artinya, banyak pegawai diangkat bukan atas dasar kompetensi melainkan koneksi. Kondisi ini melemahkan kepercayaan kolektif karena posisi strategis bisa diisi oleh orang yang kurang layak.
- Suap dan Jual-Beli Jabatan: Dalam survei integritas SPI 2019 KPK, ditemukan 63% instansi mengakui ada praktik suap dalam pengisian jabatan. Dengan struktur hierarki yang ketat, pejabat kadang ditunjuk berdasarkan uang atau hubungan, bukan kinerja. Akibatnya, budaya korupsi justru terpelihara, bukan terkurangi.
- Kekangan Inovasi: Struktur organisasi yang kaku dan berlapis-lapis menghambat aliran ide dan inovasi. Para ahli manajemen mengingatkan, "Struktur organisasi yang kaku dan hierarkis dapat menghambat aliran ide dan inovasi." Artinya, proses pengambilan keputusan panjang dan top-down sering membuat ide baik susah terserap. Generasi muda yang kreatif pun bisa frustrasi karena suara mereka tak didengar.
- Takut Memberi Umpan Balik: Ketakutan pegawai untuk bersuara karena dianggap tidak loyal pada pimpinan memperparah masalah. Menurut pakar pengembangan SDM, karyawan sering enggan memberi kritik atau masukan kepada pimpinan karena takut ada konsekuensi negatif atau dicap tidak loyal. Budaya hierarki kaku membuat komunikasi dua arah nyaris mati. Padahal, tanpa feedback yang sehat, kesalahan berulang dan kebijakan keliru sulit diperbaiki.
Semua faktor di atas, nepotisme, suap, inovasi mandeg, karyawan takut bicara, saling terkait dan sama-sama merugikan organisasi. Jika dibiarkan, organisasi hanya tumbuh berdasarkan hierarki dan takut, bukan berdasarkan nilai dan kinerja.