Konsep gentle parenting muncul sebagai alternatif terhadap pendekatan pengasuhan tradisional yang cenderung otoriter, di mana kedisiplinan sering kali diberlakukan melalui aturan ketat dan hukuman fisik. Pada era 1960-an, pola asuh otoriter menjadi pendekatan dominan, dengan menekankan kepatuhan mutlak dan standar perilaku yang tinggi bagi anak-anak.
Namun, seiring berjalannya waktu dan semakin berkembangnya penelitian dalam bidang psikologi perkembangan, banyak ahli mulai menyadari bahwa pendekatan yang terlalu keras justru dapat berdampak negatif terhadap perkembangan emosional anak. Oleh karena itu, muncullah gagasan bahwa anak-anak akan tumbuh lebih optimal jika dibesarkan dalam lingkungan yang mendukung, penuh kasih sayang, serta mengedepankan empati dan komunikasi yang sehat.
Pendekatan gentle parenting tidak sekadar berarti bersikap lembut terhadap anak, tetapi lebih dari itu, metode ini berakar pada prinsip psikologi perkembangan yang menekankan keterlibatan emosional orang tua dalam membimbing anak. Dalam gentle parenting, orang tua tidak lagi menggunakan metode hukuman fisik atau kontrol ketat untuk mendisiplinkan anak.
Sebagai gantinya, mereka diajak untuk membangun komunikasi yang terbuka, memahami kebutuhan emosional anak, serta mengajarkan konsekuensi alami dari tindakan mereka. Dengan pendekatan ini, anak-anak belajar memahami batasan secara internal, bukan karena takut dihukum, tetapi karena mereka memahami dampak dari tindakan mereka terhadap diri sendiri dan orang lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Kwon et al. (2013) mengungkapkan bahwa pola asuh yang berbasis empati dan bimbingan yang lembut memiliki hubungan erat dengan perkembangan sosial dan emosional anak. Lingkungan yang penuh kasih sayang dan komunikasi yang positif mendorong anak-anak untuk mengembangkan kecerdasan emosional yang tinggi, sebuah keterampilan yang sangat berharga dalam kehidupan sosial dan profesional mereka di masa depan. Kecerdasan emosional yang baik memungkinkan anak untuk mengelola konflik dengan lebih tenang, membangun hubungan interpersonal yang sehat, serta memiliki rasa percaya diri dalam menavigasi berbagai tantangan kehidupan.
Lebih jauh lagi, gentle parenting berperan penting dalam membantu anak mengembangkan regulasi emosi yang baik. Walters (2024) dalam studinya menemukan bahwa anak-anak yang dibesarkan dengan pendekatan gentle parenting cenderung lebih mampu mengekspresikan emosi mereka secara sehat, serta lebih mahir dalam menyelesaikan konflik dengan cara yang lebih konstruktif dibandingkan anak-anak yang tumbuh dalam lingkungan pengasuhan yang lebih keras. Anak-anak ini lebih terbiasa untuk mengomunikasikan perasaan mereka, mencari solusi yang adil dalam situasi sulit, dan memiliki keterampilan menyelesaikan masalah (problem solving) yang lebih matang.
Namun demikian, penerapan gentle parenting bukan tanpa tantangan. Salah satu dilema utama dalam pendekatan ini adalah kesenjangan antara lingkungan keluarga yang mendukung dan realitas sosial di luar rumah yang sering kali lebih kompetitif dan menuntut.
Dunia luar tidak selalu penuh dengan empati dan pemahaman, seperti yang sering diajarkan dalam gentle parenting. Anak-anak yang terbiasa dengan pola asuh ini mungkin menghadapi kesulitan dalam beradaptasi dengan situasi yang membutuhkan ketegasan, persaingan, atau bahkan menghadapi individu yang tidak selalu berempati terhadap mereka.
Dalam lingkungan akademik atau dunia kerja, di mana hasil sering kali lebih diprioritaskan dibandingkan proses, anak-anak ini mungkin harus melalui fase penyesuaian yang cukup menantang untuk dapat menemukan keseimbangan antara mempertahankan prinsip empati mereka dan beradaptasi dengan realitas yang lebih kompetitif.
Maka dari itu, gentle parenting perlu diterapkan secara seimbang. Orang tua yang menggunakan metode ini tetap perlu memberikan kesempatan bagi anak untuk menghadapi konsekuensi alami dari tindakan mereka, membiasakan anak untuk menghadapi kegagalan, serta melatih mereka dalam keterampilan sosial yang lebih luas. Paparan terhadap berbagai situasi yang menantang, tetapi tetap dalam bimbingan yang mendukung, akan membantu anak mengembangkan ketahanan mental yang lebih kuat.
Dengan demikian, gentle parenting bukan sekadar pendekatan yang mengutamakan kelembutan dalam mendidik anak, tetapi juga bertujuan untuk membekali mereka dengan keterampilan yang diperlukan agar dapat berkembang dalam dunia yang penuh tantangan.