Mohon tunggu...
Wisnu Adhitama
Wisnu Adhitama Mohon Tunggu... Wiraswasta - Jalani hidup hari ini dan rencanakan besok dan kedepan untuk berbuat sesuatu

Writer on sihitamspeak.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Manajemen Emosi untuk Diri Sendiri

30 April 2019   05:54 Diperbarui: 30 April 2019   05:58 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Berada di lingkungan yang mulai semakin random membuat saya belajar banyak tentang bagaimana seseorang berperilaku di masyarakat. Faktor adat, kebiasaan, letak geografis, hingga pengalaman di masa lalu yang banyak mempengaruhi bagaimana seseorang berperilaku. Bahkan untuk sebagian orang ada yang memiliki penilaian orang dengan faktor  ciri tertentu itu sifatnya bla... bla... bla....

Saya sendiri pun begitu, sering memiliki penilaian dahulu sebelum benar-benar kenal dengan seseorang. Namun biasanya itu Cuma di jadikan sebagai rambu bagi saya. Setidaknya saya tidak benar-benar berperilaku jelek ketika saya memiliki penilaian jelek terlebih dahulu. Dalam disiplin ilmu yang saya dalami ada namanya asas praduga tak bersalah. Setidaknya itu yang saya pegang terlebih dahulu dan mengenyampingkan sisi tak logis dari pikiran saya.

Hal tadi sebenarnya menyangkut masalah sisi emosional dari manusia. Sisi yang tidak logis tapi tergambar dan terlihat nyata di pikiran manusia. Sisi yang tidak mampu dijelaskan melalui tulisan maupun lisan. Bahkan visual pun tidak mampu menggambarkan secara detail dan nyata sisi emosional dari manusia. Sialnya, sisi ini yang sering menjadikan manusia salah dalam mengambil tindakan.

Semisal seorang dosen yang enggan disalahkan oleh mahasiswanya dengan tidak mengatakan "maaf, penjelasan saya salah". Anggapan siapa yang meminta maaf terlebih dahulu adalah orang yang salah nyata-nyatanya memang kuat ada di masyarakat. Biasanya jika kita berada di tingkatan status/strata yang di atas dari orang membuat kita lupa untuk meminta maaf dan harus orang yang di bawah kita yang meminta maaf.

Mencari siapa yang salah dan siapa yang benar memang tidak ada habisnya jika sisi emosional lebih diutamakan ketimbang sisi logika. Mengapa? Karena untuk membuat sisi logika kita bekerja membutuhkan mekanisme yang rumit semisal: bertanya tentang masalah, menganalisa, menguji, melihat dampak, mengurai lagi masalah, analisa ulang, menguji ulang, hingga di dapati kesimpulan yang harus di uji lagi apakah kesimpulan itu benar atau tidak. Termasuk saat-saat pemilihan umum seperti belakangan hari ini.

Masyarakat sedang di uji tingkat emosionalnya dengan penjabaran fakta-fakta dan data-data yang di usung oleh semua pihak. Masyarakat seolah langsung di hadapkan  pada pilihan ini benar atau ini salah. Akhirnya cara yang paling enak adalah dengan melihat sekelebat itu menguntungkan yang mana. Jika menguntungkan pihak yang di bela langsung spontan bilang itu benar dan sebaliknya. Padahal kita belum benar-benar bertanya dan menilai melalui analisa dan uji ilmiah terhadap data itu.

Dengan membaca atau mendengar atau melihat saja kemudian langsung menilai hal itu salah atau benar tanpa bertanya kebenaran dari yang di baca, di dengar dan di lihat itu bisa jadi perjudian untuk hidup kalian kedepan. Jika yang kita persepsikan tentang suatu hal berbeda dengan orang lain sebenarnya masih tidak masalah. Namun ketika kita menambahkan sisi emosional kita itu dengan luapan emosi yang berlebihan, pertemanan bahkan persaudaraan akan hancur lebur.

Maaf, saya adalah orang yang tidak setuju dengan pemberian bantuan kepada korban bencana alam dalam bentuk barang non pakaian. Bagi saya lebih baik memberi uang agar di kelola oleh lembaga penyalur ke tempat bencana alam karena mereka akan lebih mengerti kebutuhan di sana. Misalnya uang di buat membangun tempat air bersih, karena bencana alam erat kaitannya dengan kekurangan air bersih. Pakaian pun itu harus dibatasi agar tidak menjadi ajang membuang sampah. Itu semua menurut saya.

Penilaian saya di atas tentang pemberian bantuan pernah di kritik oleh teman saya lantaran dia menganggap pemberian ke korban bencana alam itu harus seikhlasnya yang memberi. Bagi saya, saya tidak mau berdebat tentang pendapat. Masalahnya tidak akan ada habisnya berdebat tentang itu. Kecuali ada data dan fakta yang saya jabarkan. Silahkan untuk di debatkan karena itu berdasarkan proses logika: menganalisa dan menguji data hingga di dapat kesimpulan.

Lucunya bagi saya, sebuah pendapat sekarang ini justru di buat bahan perdebatan dan bahkan langsung dinilai pendapat itu salah/benar bahkan ada yang mengaitkan dengan keyakinan akan agama, adat, ras, suku dan ideology. Jika seseorang mengutarakan pendapat ya tanya tentang pendapatnya itu berdasarkan apa. Dasar membuat pendapat itu pasti ada data dan fakta yang itu harusnya diperdebatkan.

Kita dengan gampang menilai pendapat itu kuat atau tidak dari ada atau tidaknya data dan fakta yang di buat untuk merumuskan pendapat itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun