Mohon tunggu...
Sigit Priyadi
Sigit Priyadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Padang rumput hijau, sepi, bersih, sapi merumput, segar, windmill, tubuh basah oleh keringat.

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Sanusi, Pengidap Bisu-tuli, Mengatur Persimpangan Cileungsi

15 Desember 2014   05:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:18 379
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1418609081722366707

Setiap pagi hari, seorang laki-laki tua berdiri di persimpangan yang terdapat di bawah jembatan layang Cileungsi. Dia bertugas melancarkan arus kendaraan dari empat arah jalan yang bertemu di titik persimpangan tersebut. Masing-masing kendaraan dari empat arah jalan itu bisa menuju tiga arah yang berbeda. Kesimpulannya, laki-laki tua itu harus mengurai kerumunan kendaraan yang hendak menuju dua belas kemungkinan arah yang berbeda.

Saya sering melihat dia mengomel-ngomel pada sopir kendaraan, terutama sopir angkot, yang tidak mengindahkan tanda perintah 'berhenti' dari tangannya. Berhubung rata-rata perilaku berlalu-lintas sebagian sopir angkot yang terkesan semau gue, maka kata-kata omelan dari laki-laki tua itu seakan-akan tidak digubris sama sekali. Wajah-wajah para sopir angkot (jenis Suzuki carry) jurusan Cileungsi - Bantar Gebang itu seakan-akan dingin tanpa ekspresi, seolah-olah merasa tak bersalah. Sementara itu laki-laki tua terlihat mengomel dengan serius. Urat nadi di lehernya terlihat menegang. Telunjuk tangannya menuding-nuding ke arah wajah sopir angkot yang diam tak peduli, sedangkan tangan kirinya berkacak pinggang.

Selain sopir angkot, para sopir truk angkutan barang, material batu, pasir, container, BBM, dll, juga tak jarang menerima omelan dari laki-laki tua itu. Penyebabnya, para sopir truk yang diomeli itu tidak memberi 'uang jasa', setelah diberi 'jalan' untuk lolos dari kesemrawutan. Kadang-kadang kejengkelan itu  juga dilayangkan kepada para pengendara sepeda motor. Saya merasa geli sekaligus iba ketika memperhatikan kejadian rutin tersebut. Sungguh-sungguh drama pagi yang terlihat menguras emosi dan sangat menegangkan syaraf.

Yang membuat saya iba adalah kenyataan bahwa laki-laki tua itu mengidap cacat bisu-tuli. Bisa dibayangkan, ketika dia mengomel pada pemakai jalan, suara yang terdengar pasti tidak jelas.

Dua kali saya sempat duduk bersanding dengan laki-laki tua tersebut. Situasinya terjadi ketika saya sedang membaca harian pagi di samping penjual Koran, di bawah jembatan layang. Pada pertemuan pertama, dia tiba-tiba berdiri di hadapan saya lalu mengajak bersalaman. Kemudian dia bercerita tentang sakitnya, yaitu pembengkakan pada (maaf) buah zakar kemaluannya. Tangannya mencoba membuat gambaran pada saya tentang 'pembengkakan' yang terjadi. Ekspresi wajahnya berubah ketika dia menceritakan rasa sakit yang dirasakannya. Saya tidak mendengar kata-kata yang jelas dari mulutnya, kecuali 'lenguhan'. Dia lalu duduk di samping saya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, dengan ekspresi wajah yang tetap. Keletihan tampak tergambar di wajahnya. Ketika dia duduk beristirahat di dekat lapak penjual koran, waktu pada arloji saya menunjuk pada pukul 08.00 pagi.

[caption id="attachment_382702" align="aligncenter" width="479" caption="Bapak Sanusi"][/caption]

Pada pertemuan kedua, Sabtu kemarin (12 Desember 2014), laki-laki tua itu kembali duduk di samping saya. Kali ini dia mengeluhkan persendian kakinya. Ekspresi wajahnya tidak sekusut seperti waktu dia menderita pembengkakan buah zakar. Bahkan dia masih bisa tertawa sewaktu saya memotret wajahnya. Kali ini saya mencoba mengajaknya berbicara. Namun saya benar-benar tidak dapat berkomunikasi dengan lancar. Waktu saya bertanya, "Sudah berapa lama tugas di sini (persimpangan)?" Dia menjawab dengan memperagakan adegan seolah-olah sedang menggendong anak. Saya tidak memahami maksudnya. Namun waktu saya tanya 'namanya', laki-laki tua itu paham dan menunjukkan tempelan kain pada sisi kanan bajunya. Tertera nama: Sanusi. Saya perkirakan umurnya berkisar pada usia 60 tahun lebih.

Menurut saya tugas Pak Sanusi sangat berat. Kesemrawutan lalu lintas di persimpangan Cileungsi sungguh-sungguh sangat mengerikan. Kondisi berbahaya itu harus diatasi sendirian. Semua pengendara tidak ada yang peduli dengan pengaturan lalu lintas. Semua itu masih ditambah dengan penyempitan jalan akibat mangkalnya angkot di bawah jembatan layang tersebut.

12 Desember 2014.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun