'Bahagia itu sederhana: melupakan hal-hal yang tidak enak.'
Kalimat itu sering kita dengar. Ia beredar di media sosial, tertulis di status WhatsApp, bahkan muncul dalam seminar motivasi. Kedengarannya indah dan menenangkan. Siapa yang tidak ingin cepat-cepat melupakan pengalaman pahit lalu hidup lebih ringan?
Namun, benarkah kebahagiaan sesederhana itu? Atau jangan-jangan, pernyataan ini justru bisa menjerumuskan jika dipahami secara dangkal?
Ingatan Negatif yang Membandel
Penelitian psikologi membuktikan, memori yang disertai emosi---terutama yang negatif---cenderung bertahan lebih lama dibanding memori netral. Itulah mengapa sebuah penghinaan di masa sekolah bisa masih terasa sakit hingga dewasa, sementara detail pelajaran matematika mungkin sudah terlupa.
Penelitian Williams dkk. (2022) menunjukkan bahwa memori dengan muatan emosional negatif menancap lebih kuat di otak. Artinya, 'melupakan' bukan perkara sekadar niat. Ingatan buruk memang dirancang alam untuk bertahan, agar kita belajar menghindari bahaya di masa depan.
Jika dipahami keliru, anjuran 'lupakan yang tidak enak' bisa menjadi bumerang. Orang justru menyalahkan diri sendiri ketika gagal melupakan, seolah-olah ada cacat dalam dirinya. Padahal, otak memang tidak bekerja seperti tombol delete pada komputer.
Menekan Bukan Jawaban
Banyak orang mengira cara paling cepat adalah menekan ingatan buruk: pura-pura tidak pernah terjadi, menutup telinga dari cerita, atau mengalihkan diri secara berlebihan. Masalahnya, represi jarang berhasil. Seperti bola plastik yang ditekan ke dalam air, ia akan muncul kembali dengan lebih kuat.
Sebuah riset dari Xie dkk. (2023) mengungkap bahwa strategi penekanan justru meningkatkan ketegangan emosional. Yang lebih sehat adalah reappraisal, yaitu mengubah makna kejadian, atau distraksi adaptif, mengalihkan perhatian pada aktivitas yang lebih konstruktif. Dengan cara ini, otak perlahan bisa 'melupakan' bukan karena menekan, tetapi karena belajar memberi konteks baru.
Bahagia Bukan Soal Lupa, Tapi Mengelola
Di sinilah pendekatan modern seperti Acceptance and Commitment Therapy (ACT) menawarkan perspektif berbeda. ACT mengajarkan bahwa tujuan kita bukan menghapus kenangan buruk, melainkan menerima keberadaannya tanpa membiarkan ia mengendalikan hidup.