Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger ajah

blogger @ sigitbud.com

Selanjutnya

Tutup

Nature

Euro IV Membuka Era Baru Dunia Otomotif Ramah Lingkungan

10 Agustus 2018   17:11 Diperbarui: 10 Agustus 2018   17:13 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
industri mobil (dok.tribunnews.com)

Ketika mendengar cerita  tentang kualitas udara di DKI Jakarta saya sempat shock, bagaimana tidak, setiap hari saya tinggal dan menjalankan aktifitas di kota. Menurut pemantuan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) per 8 Agustus 2018, kawasan udara dengan kualitas paling bagus berada di Jakarta Pusat, artinya kotamadya lain di wilayah Provinsi DKI Jakarta tingkat pencemarannya lebih tinggi.

Apa penyebab tingkat pencemaran udara di DKI Jakarta tinggi?

Sumbernya tiada lain adalah  banyaknya jumlah kendaraan bermotor yang tiap hari melintasi ruas -- ruas jalan arteri dan tol yang membelah kota ini yang menghasilkan polutan yang mencemari udara. 

Sebagai catatan, Dirlantas Polda Metro Jaya setiap hari rata -- rata menerbitkan STNK baru sebanyak 2.700 -an, diperkirakan ada 3 ribuan STNK kendaraan bermotor di Jakarta.  Berdasarkan data yang dirilis Dirlantas Polda Metro Jaya tahun 2015 yang dikutip Antara.com (9/1/2015), pertumbuhan kendaraan bermotor di DKI Jakarta mencapai 12 persen per tahun, artinya jumlah kendaraan bermotor di wilayah DKI Jakarta dan sekitarnya bertambah 5.500 s/d 6.000 per hari.

Bila kendaraan bermotor ini keluar ke jalan raya , bisa dibayangkan gas buang (emisi) disebar di udara Jakarta yang kita hirup dan memenuhi paru -- paru kita setiap hari. Emisi gas dari kendaraan bermotor mengandung unsur kimia, sulfur atau belerang  pada BBM penyebab udara di Jakarta tidak sehat. 

BM dengan standar Euro II  yang kita pakai saat ini  (premium, pertamax, pertalite)  menyesuaikan dengan kapasitas mesin kendaraan bermotor di pasaran saat ini yang mengkonsumsi  Premium dengan RON (registered octane number) 88, Pertalite (RON 90), dan Pertamax (RON 92). Aneka BBM ini masih  mengandung unsur sulfur  di atas 100  part per minute (ppm).

Pada tahun 2017, Pertamina masih menguji produk Pertamax Turbo dan berupaya menurunkan kandungan sulfur dari 250 ke 50 ppm untuk memenuhi standar BBM Euro IV. 

Standar ini dikejar oleh Pertamina, karena pemerintah lewat KLHK telah mengeluarkan peraturan tentang standar baku BBM di Indonesia lewat Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. P.20/MENLHK/SETJEN/KUM.1/3/2017 tentang Baku Mutu Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor Tipe Baru Kategori M, N, dan O atau yang lebih dikenal dengan Standar Emisi Euro IV.

 BBM Euro IV Terlambat

Bisa dikatakan penerapan standar ini "telat" di Indonesia, negara tetangga di kawasan ASEAN lebih dulu mengadopsinya beberapa tahun lalu. Singapura sudah sudah menerapkannya sejak 2006, disusul Thailand dan Filipina pada 2012, serta Malaysia pada 2013. Sementara Indonesia baru menerapkan secara bertahap pada tahun 2018,s setahun setelah peraturan dari KLHK dirilis tahun lalu.

Kebijakan ini sudah mulai direncanakan sejak tahun 2012, namun alotnya pembahasan di kalangan stake holder membuat penerapannya 6 tahun kemudian. Pokok persoalan adalah kepentingan industri otomotif yang perlu persiapan untuk mengalihkan format produksi mesinnya dari standar Euro II ke IV, juga persoalan ketersediaan BBM ini di pasar, karena  kilang minyak yang memproses minyak mentah menjadi siap pakai masih menggunakan standar Euro II.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun