Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger ajah

blogger @ sigitbud.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Isu Anti-Asing Bentuk Nasionalisme Semu

26 Maret 2018   11:16 Diperbarui: 26 Maret 2018   11:45 1530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber : katadata.co.id

Mudahnya berteriak  anti-asing  saat kampanye di Pemilu, giliran menjabat justru berpelukan erat dengan pihak asing, bahkan membujuk keras agar duit asing masuk untuk diinvestasikan. 

Wacana dan narasi anti-asing ini perlu reformasi total, pasalnya sangat membodohi rakyat. Coba kita teliti lagi, rezim mana bersih dari kerjasama dengan asing ? Pengertian asing kita tarik secara luas, artinya tidak memihak negara manapun, jadinya  negara tetangga kita Papua Nugini, Timor Timur, Malaysia adalah pihak asing. Bila pengertian pihak asing ditarik secara politik  mengarah kepada  Amerika dan Cina, penguasa ekonomi dan perdagangan internasional saat ini.

Isu anti-asing isupaling disukai oleh oposan  di negara manapun untuk menyudutkan penguasa, tanpa melihat latar belakang kasusnya  isu ini selalu dikait-kaitkan  rasa nasionalisme kolektif. Kasus di Indonesia, sejarah mencatat pernah terjadi sentimen anti Belanda, Cina, Amerika namun hingga kini kita masih menjalin  perdagangan dengan negara - negara itu. 

Apakah artinya isu politik tidak harus selaras dengan praktek perdagangan antar negara? Faktanya memang begitu, hampir tidak ada negara yang mampu mengisolasi diri dari pengaruh asing selama negara itu menganut sistim pemerintahan dan politik  demokrasi. Dua negara dulunya bermusuhan bisa berdamai kembali setelah terjalin transaksi perdagangan saling menguntungkan. Dalam sistim ekonomi global, uang tak berkewarganegaraan, bendera dan ideologi, dalam hitung detik bisa beralih dari satu negara ke negara lain tergantung siapa yang memberikan profit menguntungkan.

Penggunaan jargon politik anti-asingbelakangan ini  sesungguhnya bagus untuk memelihara nasionalisme bukan Chauvinisme

Chauvinisme merupakan bentuk dari perasaan cinta, bangga, royalitas yang tinggi, fanatisme atau kesetiaan pada tanah air (negara) tanpa mempertimbangkan pandangan dari orang lain satu bangsa lain.

Bila mencermati agitasi politik anti-asing di media sosial, narasi yang mengemuka adalah Chauvinisme. Pemahaman secara ekstrim nilai -- nilai nasionalisme jelas berbahaya, faktanya semua negara tidak bisa menghindari kerjasama dagang dengan negara lain. Dalam praktek perdagangan  tak mungkin sebuah negara mau membeli produk dan jasa kita tanpa imbal- balik, artinya harus ada pertukaran. Bila tidak ada pertukaran dagang, darimana ada devisa masuk, kecuali Indonesia menjajah negara lain dan memaksa negara itu membeli semua produk kita seperti saat menduduki Timor Timur.

Ironisnya, politisi -- politisi yang suka teriak anti-asing, padahal mereka menggunakan produk asing setiap hari, bahkan bila bukan produk asing mungkin tidak mau memakai. Paling gampang adalah arloji / jam tangan,  apakah Indonesia mempunyai brand yang dideklarasikan sebagai jam Indonesia ? Jadi terasa kocak dan menggelikan sandiwara politisi tersebut, jelas -- jelas cara -- cara membodohi rakyat banyak. Kecuali memang mau mengarahkan Indonesia sebagai negara tertutup, persoalannya setertutupnya negara tertutup tetap saja ada transaksi dengan pihak asing. Jargon anti-asing yang sering didengung-dengung di tahun politik ini hanya bentuk "nasionalisme semu" tanpa pijakan empiris.

Penggunaan jargon politik over simplifikasi (penyerderhanaan berlebihan) tidak mencerdaskan rakyat, justru membuat rakyat banyak makin tidak rasional. Herannya ada kaum intelektual yang mendukung jargon politik seperti ini, saya curiga dukungan ini bermotif politis untuk mencari kedudukan bila yang didukung berkuasa. Pada saat di luar kekuasaan, mereka getol sekali berteriak anti-asing, saat berkuasa juga giat menggaet dana dari asing. Akhirnya jargon anti -asing hanya sebuah narasi kosong, seperti hal narasi pengentasan kemiskinan yang naik daun saat kampanye.

 Jargon Politik dan Komitmen

Politisi harus lebih cerdas mengemas lagi jargon -- jargon perjuangan politik secara elegan, tak lagi menggunakan narasi -- narasi seperti saat Indonesia baru merdeka . Perjuangan bangsa ini tak lagi mengangkat senjata melawan musuh nyata, tapi musuh -- musuh tak kasat mata seperti  literasi rendah, angka putus sekolah, penyediaan buku murah, penyediaan fasilitas kesehatan dan pendidikan yang layak dan terjangkau, pembukaan lapangan kerja baru, meningkatkan daya industri kecil, merevitalisasi fasilitas publik dan lain -- lainnya. Tema -- tema tersebut adalah persoalan di sektor hulu, jadi kurang kurang menarik karena kurang mendapat ekspose dari media. Para politisi lebih suka dengan persoalan -- persoalan di sektor hilir, kekurangan beras, banjir, pengangguran, impor  yang sebenarnya adalah implikasi sektor hulu yang terbengkalai.

Meski ada juga dalam kampanye menyuarakan kepedulian pada persoalan di sektor hulu, setelah berkuasa banyak melupakan, lebih peduli dengan proyek dan fee-nya daripada mengawasi implementasi proyek secara serius. Aparat birokrasi di Indonesia sebenarnya kumpulan orang-orang terdidik dan pandai, sayang potensi mereka masih tergerus sistim kejar setoran. Tak heran bila "pasien" KPK akan terus meningkat, mungkin penjara lebih banyak untuk menampung pesakitan korupsi dari Kepala Daerah dan birokrat.

Untuk keluar dari kegelapan ini,  perlu politisi -- politisi berkomitmen tinggi membangun wilayah, tak hanya kejar setoran untuk mengembalikan modal pencalonan.Kita harus berjuang mendidik rakyat agar lebih cerdas dalam menilai politisi mana yang sungguh -- sungguh berjuang atau hanya dekat rakyat saat kampanye. Dalam Pilkada serentak 2018 ini, perilaku politisi calon kepala daerah pasti banyak memberikan harapan, entah harapan asli atau sekedar memberi harapan palsu (PHP). Pada masa-masa ini, kekuatan masyarakat sipil (civil society) perlu lebih terlibat memberikan pendampingan  calon pemilih agar lebih jeli menentukan calon pemimpin mereka.

Dalam banyak kasus, pemenang kontestasi Pilkada bukan pemimpin dengan jiwa melayani rakyat dengan kerja keras dan bukti. Umumnya mereka   kerja keras untuk mengembalikan dana pencalonan dan memberi bukti kepada partai pengusung dengan setoran. Wacana mengembalikan kontestasi politik lewat Pilkada ke pemilihan tertutup di legislatif terdengar bagus, namun justru mengkhianati semangat reformasi itu sendiri. Bila pelaksanaan sistim pemilu langsung banyak menghasilkan pemimpin korup, kesalahan  terletak pada oknum / individu -nya. Seperti halnya  mengemudi mobil merek Mercedes  tapi sopirnya tak becus, akhirnya menabrak pohon.  Apakah kita menyalahkan mobil atau pohonnya ? Padahal mobil sama dikemudikan oleh sopir lain tidak mengalaminya. Pemilukada juga menyumbang pemimpin berkualitas seperti Presiden Jokowi, Walikota Surabaya, Risma.

Mencerdaskan rakyat tidak hanya lewat pendidikan formal, memberikan  pemahaman terhadap persoalan di sekelilingnya lewat kampanye politik juga bentuk pendidikan sosial, bukan begitu ?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun