Mohon tunggu...
Sigit Eka Pribadi
Sigit Eka Pribadi Mohon Tunggu... Administrasi - #Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#

#Juara Best In Specific Interest Kompasiana Award 2023#Nominee Best In Specific Interest Kompasiana Award 2022#Kompasianer Terpopuler 2020#Menulis sesuai suara hati#Kebebasan berpendapat dijamin Konstitusi#

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Quiet Quitting Itu Sama dengan Mental Cemen dan Terlalu Berekspektasi Idealis

17 September 2022   19:56 Diperbarui: 17 September 2022   20:46 871
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar sindrom quiet quitting di kalangan pekerja | Dokumen Gambar Via Freepik.com

Buktinya lainnya soal mental baja ini adalah ketika penulis memutuskan untuk turut terjun dalam dunia usaha, yaitu ketika penulis mendirikan usaha penyiaran radio.

Soal pengalaman penulis dalam dunia usaha penyiaran radio ini secara detilnya bisa klik artikel penulis yang berjudul Pengalaman Saya Mempertahankan Radio agar Tetap On Air

Nah, kalau Anda sudah baca artikel tersebut, tergambar jelas bagaimana jatuh bangunnya penulis merintis usaha tersebut, kalau penulis tidak bermental baja alias bermental cemen, mungkin penulis sudah lama hancur dan bangkrut.

Tapi, karena mental baja dan kegigihan penulis, pada akhirnya usaha yang penulis rintis masih bisa bertahan sampai kekinian, dan bukan perkara mudah untuk tetap bisa eksis dalam dunia usaha ini.

Bukan berarti juga di sini penulis sok pamer soal diri penulis pribadi, tapi sebagai pembelajaran bersama, bahwa sukses berkarier itu tidaklah semudah membalik telapak tangan, karena semuanya butuh proses dan waktu serta pengalaman, butuh ketahanan mental yang mumpuni dan tangguh.

Tentunya juga dalam merintis usaha tersebut, penulis sangat mengetahui bagaimana karakter dan watak para karyawan yang penulis miliki, jadi sebenarnya soal sindrom quiet quitting dan hal lainnya yang sejenis, bukanlah hal yang baru bagi penulis.

Ya, penulis memang tegas kepada karyawan dalam merintis usaha ini, yang sudah enggak cocok dengan visi misi usaha penulis silahkan keluar, yang hanya mengedepankan mental cemen, idealisme diri, dan perfeksionisme sendiri, bakal penulis eliminasi.

Tentunya dalam hal ini bukan berarti penulis otoriter ataupun arogan memperlakukan karyawan, tapi jelas patokan penulis adalah visi dan misi penulis sebagai pemilik perusahaan. Ya kan.

Jadi, kalau karyawan sudah penulis rasa jauh melenceng dari visi dan misi serta kultur perusahaan milik penulis, ya jelas sudah pasti enggak sejalan lagi dengan penulis sebagai pemilik perusahaan, jelas penulis harus ambil keputusan kan dan keputusan itu ya sesuai kebijakan penulis sebagai pemilik perusahaan. Ya kan.

Yang pasti, setiap kantor tidaklah mungkin mengabaikan jenjang peningkatan karier maupun penghasilan karyawannya, dan tentunya untuk mendapat pencapaian tersebut setiap kantor punya kebijakan masing-masing sesuai kemampuan kantor masing-masing.

Sama halnya juga dengan penulis, tentu para karyawan akan penulis nilai sesuai nilai mutu dan kualitasnya, yang memang layak promosi jabatan ya penulis promosikan jabatan, yang layak dapat kenaikan penghasilan ya penulis naikkan penghasilannya, yang belum layak ya harus instrospeksi kenapa belum bisa promosi jabatan dan belum bisa dinaikkan penghasilannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun