Kalau boleh di analisis penulis sudah mulai melihat gelagat ke otoriteran tersebut, lihat bagaimana lembaga legislatif yang didominasi kekuatan Parpol koalisi bersama Parpol pemenang Pemilu.
Bagaimana terlihat sangat begitu dominannya kekuatan Parpol koalisi tersebut pada saat memproduksi produk undang-undang maupun kebijakan.
Lalu, lihat saja bagaimana komposisi kekuatan Parpol koalisi tersebut dalam ranah eksekutif, lihat bagaimana kekuatan partai koalisi sangat dominan pada susunan kabinet menteri.
Lihat juga, bagaimana produk program kerja dan kebijakan yang ditelurkan pemerintah, bagaimana tidak berimbangnya fungsi check and balance terkaitnya.
Idealnya eksekutif itu adalah komposisinya kabinet zaken, bagaimana komposisi kabinet yang jajaran menterinya berasal dari berbagai kalangan ahli, bukan hanya representasi dari suatu partai politik tertentu.
Atau setidaknya dalam susunan eksekutif tersebut terdapat adanya keberimbangan, baik itu antara koalisi pemerintah, oposisi dan kalangan ahli.
Ya, fakta yang sungguh sangat ironi dan sangat memprihatinkan, oposan nyaris mati, oposisi nyaris mati, dan demokrasi nyaris sakit keras.
Yang jelas kondisi ini tidaklah tepat kalau terus dibiarkan, dan yang pasti juga, periode pemerintahan Presiden Joko Widodo yang sudah memasuki periode kedua ini, tetap membutuhkan para oposan maupun para oposisi yang konstruktif menyuarakan pendapat dan mengkritik kebijakan pemerintah.
Sebab apa, dengan adanya oposisi yang dilakukan secara optimal, maka akan dapat dipastikan bisa mencegah kecenderungan pemerintah menjadi otoriter.
Kalau pemerintah menutup keran untuk menerima saran dan masukan, anti kritik, dan anti terhadap kebebasan berpendapat, maka dapat dipastikan pemerintah akan menjadi otoriter.
Jelaslah kalau pemerintah sudah otoriter, maka menandakan, bahwa memang sudah tidak ada lagi keseimbangan roda pemerintahan suatu negara.