Sinta mencoba. Setiap kali rasa nggak enak muncul, ia berhenti sejenak, tarik napas, lalu menulis di notes: "Aku iri karena...". Lama-lama ia menemukan pola. Ternyata ia butuh istirahat, butuh apresiasi, dan butuh merasa cukup. Dari situ ia mulai bersyukur pada hal-hal sederhana: rumah yang nyaman, teman dekat yang suportif, dan waktu luang untuk belajar hal baru.
Beberapa minggu kemudian, scrolling media sosial nggak lagi bikin Sinta panas. Ia masih suka lihat postingan teman, tapi sekarang lebih sering bilang "Oh keren ya" daripada "Kenapa bukan aku?". Ia sadar bahwa perasaan iri bukan untuk ditolak, tetapi untuk dipahami dan dijadikan bahan tumbuh.
Pesan untuk Kita
Perasaan iri dan benci tidak akan selesai kalau kita cuma fokus ke luar. Media sosial, lingkungan, atau kesuksesan orang lain hanyalah pemicu. Cara menyelesaikannya adalah "scroll" ke dalam diri: sadar perasaannya, cari akarnya, lalu perlahan ubah fokus ke langkah kecil yang bisa membuat hidup kita lebih bermakna. Dengan begitu kita bukan cuma jadi penonton hidup orang lain, tapi sutradara hidup kita sendiri.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI