Di sebuah desa sederhana, hiduplah seorang lelaki tua miskin yang memiliki seekor kuda putih luar biasa. Kuda itu bukan sekadar hewan peliharaan, baginya kuda itu adalah sahabat, bagian dari keluarga. Banyak orang desa dan bahkan Raja mendengar tentang keindahan kuda tersebut. Suatu hari, sang Raja mengutus menterinya untuk membeli kuda itu dengan harga yang sangat tinggi. Namun lelaki tua itu menolak dengan tenang.
> "Kuda ini bukan barang untuk dijual. Ia seperti keluarga. Bisakah kau menjual sahabatmu sendiri?" ujarnya mantap.
Beberapa waktu kemudian, kuda kesayangannya hilang dari kandang. Berita ini cepat menyebar, dan para tetangga berbondong-bondong datang, sebagian besar mencemooh.
"Orang tua bodoh, kenapa dulu tidak kau jual pada Raja? Sekarang kudamu hilang, betapa malangnya hidupmu!"
Lelaki tua itu hanya tersenyum tipis dan berkata:
> "Yang aku tahu hanyalah: kudaku tidak ada di kandang. Apakah ini musibah atau berkah? Siapa yang bisa memastikan? Jangan terburu-buru menilai."
Penduduk desa menertawakan jawaban itu. Namun beberapa hari kemudian, kuda putih itu kembali. Tak hanya itu, ia membawa sekawanan kuda liar yang sama indahnya. Kini lelaki tua memiliki banyak kuda. Para tetangga kembali datang, kali ini memuji dan menyanjung.
"Ternyata kau benar, Pak Tua. Kehilangan kudamu ternyata berkah besar. Sekarang kau kaya raya!"
Namun, lelaki tua itu kembali menjawab dengan bijak:
> "Hanya fakta yang bisa kita ketahui: kuda itu kembali dengan kawanannya. Apakah ini berkah atau musibah? Kita belum tahu. Jangan menilai terlalu cepat."
Waktu berlalu. Putra satu-satunya lelaki tua mulai melatih kuda-kuda itu. Naas, ia terjatuh saat menunggang, dan kakinya patah. Lagi-lagi, warga datang mencemooh:
"Kami salah. Ternyata memiliki banyak kuda membawa musibah. Putramu kini cacat. Siapa yang akan membantumu di usia senja?"
Lelaki tua tetap tenang dan berkata:
> "Yang kita tahu hanyalah: kaki anakku patah. Apakah ini musibah atau berkah? Kita belum tahu."
Sebulan kemudian, perang meletus. Semua pemuda desa dipaksa ikut ke medan tempur. Banyak yang gugur, membuat orang tua mereka menangis. Sementara putra lelaki tua selamat karena kakinya patah dan tidak wajib perang. Warga kembali datang memujinya:
"Benar katamu, Pak Tua. Luka anakmu ternyata berkah. Ia selamat, sementara anak-anak kami tiada."
Namun lelaki tua kembali mengingatkan:
> "Jangan menilai terlalu cepat. Tidak ada yang tahu apakah ini berkah atau musibah. Hidup punya caranya sendiri. Kita hanya melihat sebagian kecil dari rangkaian panjang takdir."
Makna Kehidupan yang Tersembunyi
Cerita ini mengajarkan kita tentang satu hal penting: kita sering kali menilai sesuatu terlalu cepat, memberi label "baik" atau "buruk" hanya dari apa yang terlihat saat ini. Padahal, hidup tidak sesederhana itu. Apa yang tampak buruk hari ini bisa jadi pintu menuju sesuatu yang lebih baik besok, dan sebaliknya.
Sebagaimana filsuf Lao Tzu pernah berkata:
> "Apa yang tampak seperti berkah bisa jadi malapetaka, dan apa yang tampak seperti malapetaka bisa jadi berkah. Jalan hidup tak selalu lurus, ia penuh kejutan."
Sering kali kita terburu-buru menilai nasib, padahal hidup adalah rangkaian peristiwa yang saling terhubung. Kita tidak pernah tahu apa hasil akhir dari kejadian yang kita alami hari ini.
Pesan Kehidupan:
"Belajarlah menerima hidup apa adanya. Jangan terburu-buru menilai, karena apa yang kita sebut musibah atau berkah hanyalah persepsi sesaat. Waktu yang akan membuktikan maknanya."
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI