Lia mengangguk, pura-pura memeriksa ponselnya untuk menyembunyikan wajahnya yang memerah.
 "Iya, sekalian aja. Tapi jangan lama-lama, nanti Pak Chandra pulang." Nada suaranya bergetar sedikit saat menyebut nama suaminya.
Chandra Wijaya, 45 tahun, adalah tipe pria yang bisa membuat ruangan terasa lebih kecil hanya dengan kehadirannya. Pengusaha properti sukses, pemilik separuh rumah di Puri Anggrek Elit, dan suami yang---setidaknya di mata tetangga---mencintai Lia dengan penuh pengabdian.
 Tapi Lia tahu kebenarannya: Chandra lebih mencintai kesuksesannya daripada istrinya. Perhatiannya kepada Lia hanyalah bagian dari citra "keluarga sempurna" yang ia jual ke klien dan tetangga.
 Dan itulah mengapa Lia, dalam momen kelemahan enam bulan lalu, membiarkan Jono---tukang kebun yang baru lulus SMA---menciumnya di gudang taman.
Sejak saat itu, hubungan mereka berjalan di tepi jurang. Pertemuan rahasia di gudang, pesan WhatsApp yang buru-buru dihapus, dan tatapan sekilas di sela-sela pekerjaan Jono. Lia tahu ini bukan cinta---setidaknya, bukan cinta seperti yang ia bayangkan saat masih muda.Â
Ini adalah pelarian, cara untuk merasa hidup di tengah kehidupan yang terasa seperti panggung sandiwara. Tapi pagi ini, setelah kematian Mira Lestari, Lia merasa ada sesuatu yang berbeda.Â
Seperti ada mata yang mengawasi, bukan hanya dari tetangga usil, tapi dari sesuatu yang lebih gelap.
"Lia, kamu ke mana aja tadi pagi?" Suara Chandra dari ruang tamu membuat Lia tersentak. Cangkir kopinya hampir jatuh, tapi ia menahannya dengan tangan yang gemetar. Chandra masuk ke dapur, dasinya sedikit longgar, matanya menatap Lia dengan ekspresi yang sulit dibaca.
"Ke pemakaman Mira," jawab Lia, berusaha terdengar santai. "Kan kasihan, tetangga kita. Aku cuma ikut ngelayat."
Chandra mengangguk, tapi matanya menyipit. "Kamu kenal Mira baik-baik, ya? Kok kayaknya sedih banget." Nada suaranya biasa, tapi ada sesuatu di baliknya---kecurigaan yang membuat bulu kuduk Lia berdiri.