Dalam beberapa hari terakhir, kita sering melihat gelombang aksi massa yang diwarnai dengan kerusuhan. Pemandangan ban terbakar, pelemparan batu, dan bentrok dengan aparat seolah menjadi pemandangan yang biasa. Namun, pernahkah kita bertanya, apakah kerusuhan ini benar-benar spontan? Atau, jangan-jangan, ini adalah bagian dari sebuah skenario besar yang sengaja dirancang?
Skenario Kerusuhan dan Agenda Tersembunyi
Menurut Ferry Irwandi, seorang pengamat yang vokal di media sosial, kerusuhan-kerusuhan ini bukanlah hal yang terjadi begitu saja. Ia meyakini ada "dalang" di balik layar yang mengorkestrasi kekacauan ini. Dalang ini memanfaatkan media sosial, khususnya platform seperti X (Twitter) dan TikTok untuk menyebarkan narasi provokatif. Akun-akun anonim dan buzzer yang diduga terafiliasi dengan pihak-pihak tertentu bekerja secara sistematis untuk memanaskan suasana.
"Mereka menciptakan provokasi yang masif dan terstruktur untuk memicu kerusuhan," ujar Ferry dalam salah satu unggahan videonya. "Tujuannya jelas, mengubah aksi damai menjadi anarkis."
Mengapa mereka menginginkan kerusuhan? Di sinilah pandangan Ferry Irwandi menjadi sangat menarik dan kontroversial. Ia berpendapat bahwa tujuan utama dari skenario kerusuhan ini adalah untuk menciptakan alasan bagi pemerintah untuk menetapkan status darurat militer. Jika skenario ini berhasil, pemerintah akan memiliki kekuasaan ekstra yang luar biasa. Aturan hukum biasa bisa dikesampingkan, tindakan represif dapat dilakukan, bahkan aset masyarakat bisa disita.
Ferry Irwandi melihat ini sebagai langkah yang sangat berbahaya. Menurutnya, skenario darurat militer adalah cara bagi pihak-pihak tertentu untuk mengambil alih kekuasaan, menyingkirkan lawan politik, dan mengamankan dominasi mereka. Kerusuhan hanyalah alat untuk mencapai tujuan yang lebih besar itu.
Masyarakat Cerdas, Skenario GagalÂ
Namun, Ferry Irwandi percaya bahwa skenario ini telah gagal. Kegagalan ini bukan karena intervensi dari aparat keamanan, melainkan berkat kesadaran masyarakat yang semakin cerdas. Masyarakat, terutama para pengguna media sosial, tidak lagi mudah termakan hoaks dan narasi provokatif. Mereka belajar untuk memilah informasi, memeriksa fakta, dan menolak ajakan untuk berbuat anarkis. Kematangan digital inilah yang menurut Ferry, menjadi benteng pertahanan terbaik melawan provokasi.
Bahkan, setelah menyuarakan pandangannya ini, Ferry Irwandi mengaku mendapatkan ancaman. Ia dituduh sebagai "penggagalan darurat militer" oleh akun-akun anonim. Hal ini justru semakin menguatkan keyakinannya bahwa skenario tersebut memang ada dan ia telah berada di jalur yang benar.
"Saya mendapatkan teror karena saya berhasil mengungkap skenario ini," katanya. "Ini menunjukkan bahwa apa yang saya sampaikan itu benar-benar mengganggu rencana mereka."
Kisah ini adalah pengingat penting bagi kita semua. Di era disrupsi informasi ini, hoaks dan provokasi adalah senjata mematikan. Mereka dapat merusak persatuan, memecah belah bangsa, dan bahkan digunakan untuk menggulingkan kekuasaan. Oleh karena itu, kita harus terus meningkatkan literasi digital dan tidak mudah terhasut oleh narasi yang memecah belah.