Istilah lain yang menjadi populer berkat kasus ini adalah abolisi. Ini adalah hak prerogatif Presiden untuk menghapuskan hak menuntut pidana. Pemberian abolisi kepada Tom Lembong menimbulkan beragam respons, dari apresiasi hingga kritikan. Namun, di luar pro-kontra tersebut, kasus ini menjadi momen penting bagi masyarakat untuk memahami bahwa ada mekanisme hukum lain di luar vonis pengadilan yang bisa dijalankan. Ini menunjukkan bahwa sistem hukum kita memiliki berbagai "tombol" untuk mencapai keadilan, dan peran kepala negara dalam hal ini sangat krusial.
Abolisi berbeda dari grasi (pengurangan hukuman) atau amnesti (penghentian proses hukum terhadap sekelompok orang). Pemberian abolisi secara spesifik menghentikan proses peradilan dan menghapus segala akibat hukum dari putusan yang telah ada. Ini menjadi bukti bahwa jalur hukum tidak selalu linear dan kekuasaan eksekutif memiliki peran signifikan dalam menjaga keseimbangan keadilan.
Menjadikan Hukum sebagai Milik Bersama
Pada akhirnya, kasus Tom Lembong berhasil mengubah narasi dari sekadar "siapa yang salah" menjadi "mengapa dia dipersalahkan". Lebih dari itu, kasus ini telah sukses mengantarkan pemahaman tentang mens rea dan abolisi ke tengah masyarakat. Ini adalah langkah maju yang sangat penting dalam membangun kesadaran hukum dan partisipasi publik yang lebih baik di Indonesia.
Melalui kasus ini, kita belajar bahwa hukum bukanlah sekumpulan pasal-pasal kering, melainkan sebuah sistem yang hidup, yang dipengaruhi oleh interpretasi, niat, dan kekuasaan. Kasus Tom Lembong membuktikan bahwa berita politik bisa menjadi pintu masuk yang efektif untuk memahami kompleksitas hukum. Ia mengedukasi kita bahwa pemahaman hukum yang baik adalah fondasi penting untuk menjadi warga negara yang kritis dan bertanggung jawab.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI