Sebenarnya film animasi "Merah Putih: One for All" hadir dengan niat yang sangat mulia yaitu menyebarkan semangat persatuan, toleransi, dan keberagaman di tengah masyarakat Indonesia, terutama untuk generasi muda. Namun, niat baik saja rupanya tidak cukup untuk melahirkan sebuah karya yang bisa dibanggakan. Film ini, yang seharusnya menjadi representasi indah dari keragaman Indonesia, justru terasa seperti sebuah kesempatan yang disia-siakan, sebuah pesan berharga yang tercecer karena eksekusi yang terburu-buru dan kurang matang.
Kualitas Visual yang Jauh di Bawah Standar
Kritik tajam yang bertebaran di media sosial dan platform ulasan bukanlah tanpa alasan. Bahkan sejak cuplikan-cuplikan awalnya, publik sudah menyoroti kualitas visual yang jauh dari harapan. Animasi karakter yang kaku, detail yang minim, dan pergerakan yang tidak natural membuat film ini terasa mentah. Ulasan di YouTube bahkan memperkuat kritik ini, menyebut kualitasnya sebagai penurunan signifikan dibandingkan dengan animasi lokal sebelumnya yang sukses, seperti Jumbo. Hal ini menunjukkan bahwa standar penonton Indonesia sudah semakin tinggi, dan "Merah Putih: One for All" terasa ketinggalan zaman, bahkan sebelum ia benar-benar tayang.
Alur Cerita dan Detail Penceritaan yang Kacau
Selain visual, alur cerita dan detail penceritaan juga menjadi sorotan tajam. Niat untuk menyajikan kisah tentang persatuan yang dikemas dengan karakter dari berbagai daerah memang patut diacungi jempol. Namun, eksekusinya terasa buru-buru, membuat pengembangan karakter dan alur konfliknya tidak terasa mendalam. Banyak penonton yang menganggap plotnya tidak logis, misalnya mengirim anak-anak ke hutan berbahaya tanpa pengawasan orang dewasa.
Kejanggalan juga muncul dalam detail teknis yang seharusnya tidak luput dari perhatian. Contohnya, seperti yang ditemukan dalam beberapa ulasan, ada efek suara burung yang justru diganti dengan suara monyet. Selain itu, desain poster film yang terlihat seperti semua karakter hanya ditempelkan begitu saja, tanpa ada komposisi yang dinamis dan terpadu. Detail-detail kecil ini, meskipun terkesan sepele, secara kolektif menunjukkan kurangnya ketelitian dan profesionalisme dalam proses produksi.
Pelajaran Berharga bagi Industri Animasi
Pada akhirnya, "Merah Putih: One for All" adalah sebuah contoh nyata di mana ide brilian tidak diimbangi dengan eksekusi yang matang. Ini adalah pelajaran berharga bagi industri film, terutama animasi, di Indonesia. Pesan nasionalisme dan keberagaman memang sangat penting, namun penyampaiannya harus dikemas dengan cara yang profesional dan berkualitas. Film tidak hanya sekadar alat untuk menyampaikan pesan, melainkan juga sebuah karya seni yang menuntut ketelitian, kesabaran, dan dedikasi. Semoga, kegagalan ini bisa menjadi cerminan, agar di masa depan, ide-ide mulia dapat diwujudkan dalam karya yang sama-sama berkualitas, sehingga film Indonesia tidak hanya kaya akan pesan, tapi juga unggul dalam teknis dan estetika.
Bekasi, 10 Agustus 2025
Best Siallagan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI