Mohon tunggu...
Natanael Siagian
Natanael Siagian Mohon Tunggu... Administrasi - Konsultan

Natanael Siagian lahir di Tarutung Tapanuli Utara, Sumatera Utara pada 30 Desember 1989. Alumni Universitas Batam jurusan ilmu hukum. Tinggal dan menetap di Jakarta. Email: siagian.natanael@yahoo.com

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menyoal Kebakaran Gedung Kejaksaan RI

25 Agustus 2020   22:49 Diperbarui: 25 Agustus 2020   22:52 617
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa hari ini , kejadian terbakarnya gedung Kejaksaan Agung RI memenuhi media pemberitaan tanah air. Di tengah banyaknya kasus-kasus besar yang sedang ditangani oleh Kejaksaan Agung, wajar memang kalau ada masyarakat yang berpendapat kalau kebakaran itu sebagai sabotase. Itu manusiawi. 

Disisi lainnya, kelompok praktisi bangunan gedung dan akademisi menyayangkan gedung se vital Kejaksaan Agung bisa terbakar. Upaya pencegahan, melalui kesiapan alat alat proteksi kebakaran gedung Kejaksaan menjadi permasalahan utama yang dipertanyakan.

Kebakaran seharusnya tidak separah itu jika alat alat proteksi kebakaran yang terpasang di gedung bekerja secara optimal. Gedung Kejasaan Agung sendiri, terbakar selama lebih dari 10 Jam dan bahkan sampai mengerahkan 64 mobil pemadam Kebakaran.  

Sebagai seorang Konsultan, yang fokus dalam pengurusan legalitas perizinan dan sertifikasi bangunan gedung, Saya juga turut menyayangkan kejadian tersebut.

Betapa tidak, di dalam sebuah bangunan gedung terdapat banyak sekali perizinan, banyak jenis sertifikasi yang wajib dimiliki oleh pemilik atau pengelola bangunan gedung. Izin tersebut tentu tidak akan terbit begitu saja, melainkan setelah adanya serangkaian  pengujian/pengetesan. 

Sederhanannya begini, semua alat alat alat proteksi kebakaran yang telah terpasang di dalam gedung harus tersertifikasi kelayakan fungsinya. Izin dan sertifikasi tersebut, juga harus diperpanjang secara berkala.

Alat-alat proteksi kebakaran yang dimaksud di atas, terkelompok menjadi 2 (dua) jenis, yaitu proteksi kebakaran yang bersifat aktif seperti Apar, Sprinkler, Alarm, dan System Hidran.

Ada juga proteksi kebakaran yang bersifat pasif seperti stabilitas struktur, Fire Retardant, konstruksi tahan api, sarana evakuasi, dll. Kedua jenis proteksi kebakaan tersebut harus senantiasa berfungsi dengan baik. Sehingga ketika terjadi kebakaran, dampaknya akan bisa diminimalis.

Menariknya, untuk alat alat proteksi kebakaran itu sendiri,  bahkan ada 2 (dua) jenis izin atau sertifikasi yang harus dimiliki Pemilik atau Pengelola Gedung. Pertama, izin Sertifikat Keselamatan Kebakaran (SKK) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah melalui Pelayanan Terpadu Satu Pintu atas rekomendasi teknis dari Dinas Pemadam Kebakaran dan Kedua Izin Alat Alat Proteksi Kebakaran (Keselamatan dan Kesehatan Kerja)  yang dikeluarkan oleh Dinas Ketenagakerjaan.

Mengigat begitu ketatnya regulasi yang ada, sangat disayangkan sebuah gedung, apalagi sebuah gedung yang sangat vital keberadaanya bisa terbakar. Kejadian ini malah memunculkan pertanyaan, apakah mungkin gedung Kejaksaan Agung tidak memiliki  Sertifikat Keselamatan Kebakaran (SKK) dan Izin alat-alat proteksi kebakaran?

Pertanyaan ini, akan menjadi pintu masuk untuk menjawab penyebab terjadinya kebakaran di Kejaksaan Agung. Bahkan ini akan menjadi poin penting bagi aparat penegak hukum dalam melakukan investigasi.

Lalu, Jika ternyata gedung Kejaksaan sudah memiliki izin atau sertifikasi seperti yang sudah dijelaskan diatas, prosedur penerbitan izinnya yang selanjutnya harus diperiksa apakah sudah sesuai dengan standard dan prosedur yang berlaku.

Secara Umum, Undang undang No.28 tahun 2002 tentang bangunan gedung telah mengatur pra syarat keandalan bangunan gedung. Sebagai turunan dari Undang undang tersebut, Pemerintah juga telah mengeluarkan Permen PU No.25 tahun 2007.

Setelah peraturan tersebut diterbitkan, semua bangunan gedung di seluruh Indonesia yang bersifat non rumah tinggal sebenarnya wajib memiliki Sertifikat Laik Fungsi (SLF) sebelum gedung digunakan.

Dan SLF tersebut juga harus diperpanjang setelah lima tahun terbit. SKK sendiri, sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas adalah salah satu syarat dalam pengurusan dan penerbitan SLF.

Kembali ke soal keberadaan alat alat proteksi kebakaran, panduan teknis tentang alat alat proteksi kebakaran sudah ada didalam Permen PU No.26 tahun 2008. Kemudian, mengingat keberadaan gedung Kejaksaan Agung berada di Provinsi DKI Jakarta, regulasi tentang keandalan bangunan gedung sebetulnya sudah lengkap.

Misalnya, Perda No.7 tahun 2010 tentang bangunan gedung, Perda No.8 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bahaya Kebakaran, Pergub No.143 tahun 2016 tentang Managemen Keselamatan Kebakaran Gedung, Pergub 128 tahun 2018 tentang Pengenaan Sanksi Pelanggaran Penyelenggaraan Bangunan Gedung, Pergub No.200 tahun 2015 tentang Akses Pemadam Kebakaran dan lain sebagainnya.

Kejadian terbakaranya gedung Kejaksaan Agung, harus menjadi momentum bagi Pemerintah untuk melakukan audit secara menyeluruh tentang kelengkapan izin izin dan sertifikasi kelayakan fungsi untuk seluruh gedung Pemerintahan yang ada.

Gedung milik Pemerintah yang tidak memiliki izin atau sertifikat kelayakan fungsi harus diberi sanksi atau bila perlu disegel sama halnya dengan yang dilakukan Pemerintah terhadap gedung gedung milik Swasta ketika izinnya tidak lengkap.  Dengan demikian, mutu bangunan gedung akan tinggi dan terjamin, yang membuat potensi kebakaran gedung semakin kecil.

Natanael Siagian, SH
Konsultan Perizinan dan Sertifikasi Bangunan Gedung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun