Pak Tua membuka matanya. Ia seperti seseorang yang baru saja menyaksikan sepahit-pahitnya kebenaran. Ia menatap potongan tulang di tangannya, lalu melemparkannya ke tanah. Anjing-anjing memperebutkannya. Parahnya, demi satu tulang itu, para anjing sampai-sampai bergumul penuh nafsu.
Pak Tua berdiri, tak peduli. Ia lebih memilih menjauhi anjing-anjing itu sebab terlanjur muak terhadap kebodohannya sendiri. Ia terus berjalan, berjalan, dan berjalan, tanpa lentera, tanpa tujuan, tanpa kebanggaan.
Dan untuk pertama kalinya, ia benar-benar merasakan hancur sebagai manusia.
---
Shyants Eleftheria, freedom of thought
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI