Mereka akhirnya berhenti berupaya untuk mengubah keadaan mereka sendiri, bahkan ketika peluang untuk berubah tersedia, mereka seolah-olah telah belajar untuk menjadi tidak berdaya.
Pola ketidakberdayaan yang dipelajari ini sering terlihat pada orang-orang yang secara konsisten mengadopsi mentalitas korban.Â
Realitas mereka menjadi begitu terkait dengan apa yang mereka anggap sebagai korban, bahwa hampir tidak mungkin untuk membedakan keadaan buruk mana yang datang dan mana yang berakhir.Â
Bidang distorsi realitas ini bertindak sebagai gelembung pelindung yang mengisolasi mereka dari keadaan yang harus mereka hadapi dan menjebak mereka dalam siklus mengasihani diri sendiri.
Sikap mentalitas korban dalam hubungan individu
Dalam hubungan individu, orang-orang dengan mentalitas korban ini sering mencari validasi rasa sakit mereka dan berusaha untuk berbagi penderitaan dengan orang lain.Â
Mereka membutuhkan orang lain untuk mengakui bahwa mereka adalah korban yang dapat menguras emosi orang-orang di sekitar mereka.Â
Alih-alih mencari solusi, mereka bersenang-senang dalam masalah mereka yang dapat menciptakan ketegangan dan jarak dalam hubungan sosial. Sebagai contoh, di tempat kerja, individu-individu dengan pola pikir korban ini dapat menciptakan lingkungan yang buruk atau beracun.
Mereka mungkin menyalahkan orang lain atas kurangnya keberhasilan mereka atau atas tantangan apapun yang mereka hadapi dan menolak untuk bertanggung jwab atas tindakan mereka sendiri. Mereka mungkin juga menolak kritik konstruktif karena lebih melihatnya sebagai serangan daripada kesempatan untuk tumbuh dan berkembang.
Secara sosial sikap mentalitas korban dapat menyebabkan mereka terisolasi jika terus-menerus mengungkapkan kemalangan dan menolak untuk memperbaikinya. Akibat terburuknya, mereka justru dapat mendorong orang lain menjauh karena negativitas yang terlalu berlebihan.
Pola pikir ini secara signifikan membatasi potensi seseorang sehingga menciptakan lingkaran setan dengan menyalahkan kegagalan dan mengasihani diri sendiri. Padahal, mengenali dan mengakui pola pikir ini adalah langkah penting pertama menuju transformasi.
KesimpulanÂ
Pola pikir ini sebenarnya bukanlah hukuman seumur hidup. Mentalitas korban hanya merupakan fase atau suasana hati yang berlalu-lalang. Itu adalah cara yang tertanam dalam menafsirkan dunia yang seringkali berasal dari awal pengalaman hidup dan perilaku sejak dini.