Jika ada wanita yang selalu berdiam diri atas penghinaan suaminya, kemungkinan salah satunya adalah saya.Â
Saya selalu bertahan dalam rumah tangga untuk hal yang mungkin dinilai banyak orang adalah kebodohan. Saya tidak membantah opini mereka seperti itu, bahkan yang lebih dari sekadar kata bodoh pun, saya terima.
Kehidupan saya setelah menikah makin memburuk dari hari ke hari dan Jason selalu berusaha mencari cara untuk menyalahkan saya, bahkan untuk kesalahan yang tidak pernah ada sekalipun.Â
Dia tidak pernah memuji penampilan saya meski saya berdandan untuknya; Dia tidak pernah meluangkan waktu banyak untuk saya dan Cathy, putri saya, meski itu di hari libur karena dia selalu menghabiskan waktu untuk pergi bersama teman-temannya; Dia juga selalu mengejek hasil masakan saya dan tidak ada pujian sedikit pun meski saya sudah berusaha keras membuatnya.
"Kamu bahkan tidak tahu cara memasak makanan. Makanan ini rasanya benar-benar tidak enak."
Entah mengapa, perasaan saya seperti kebal sampai secuil keputusasaan yang mendekam pun tetap saya telan meski pahit.
Suatu hari, ketika kami bertiga berada di pusat perbelanjaan untuk kebutuhan bulanan---untuk keuangan, Jason selalu ikut memastikan bahwa uang belanja tidak boleh lebih dari yang dia anggarkan---seorang pelayan pria memuji saya, "Nyonya, Anda terlihat cantik."
Jason tertawa dan berkata, "Apa? Cantik? Kamu perlu memeriksa matamu. Dia sama sekali tidak cantik."
Saya menahan malu, terlebih-lebih melihat pelayan laki-laki itu melongo dan tampak tidak habis pikir atas penolakan penilaiannya, yaitu seorang pria yang tega mempermalukan pasangannya.Â
Usai berbelanja bulanan dan menemaninya mencari kemeja kerja, kami meninggalkan mal. Saya membendung air mata dan menahan hati yang berat untuk tetap tersenyum.