Saya selalu mencoba yang terbaik untuk membuat suami saya bahagia dengan membuatnya puas meski dia tidak menghargai saya.Â
Dia tidak pernah membantu saya di rumah, dan ketika saya memintanya untuk membantu Cathy menyelesaikan tugas sekolahnya karena saya sedang menyelesaikan pekerjaan di dapur, dia meneriaki saya.
"Bisakah kamu tidak mengganggu saya menonton televisi, Suzan. Saya di rumah untuk beristirahat. Kamu di rumah dan pekerjaan rumah tangga itu ringan, dan kamu masih membutuhkan bantuan? Kamu seperti manusia bodoh."
Saya selalu merasa kalah setiap kali dia berteriak atau mengejek-ejek saya. Saya membencinya karena perilakunya, dan katanya, karena saya, dia tidak pernah bahagia. Semua yang saya lakukan selalu saja kurang baginya. Berkali-kali, lagi dan lagi, dia bersikap dingin, menyebalkan, dan tidak peduli dengan saya.
Tidak apa-apa dia berkata begitu, saya masih menaruh sabar dengannya meski dia menghina saya dan itu sudah bertahun-tahun. Sesuatu yang saya yakini bahwa kelak akan ada tindakan tidak terduga yang saya lakukan untuk membalasnya---ya, saya meyakini itu.Â
Tindakan menyebalkannya tidak berhenti hanya di situ. Saya masih ingat hal menyebalkan lainnya. Suatu malam dia sedang bersama teman-temannya di rumah, bisa-bisanya dia mengajak dua wanita, entah temannya atau bukan, untuk menonton bola.
Saya datang menghampiri mereka, lalu bertanya, "Sayang, apakah kamu butuh sesuatu?"
Jason dengan sinis berkata kepada teman-temannya. "Teman-teman, ini istriku dan anggap saja dia sebagai seorang pelayan. Silakan menyuruhnya apa saja karena istri saya adalah pelayan yang baik."
Teman-temannya tertawa dan bahkan tanpa sungkan meminta saya menyediakan cemilan yang banyak malam itu. Saya terhina dan menangis.Â
Lagi-lagi Jason tidak pernah menghormati saya dan dia seperti tidak ingin melewatkan apa saja untuk mempermalukan saya.Â
Ketika saya mencuci piring di dapur, usai Jason menonton bola dan teman-temannya pergi, dia datang dan berkata, "Kamu selalu menangis. Bagaimana bisa kamu selemah itu?"