Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bukan Salahnya Andien pada Cinta Segitiga Kami

15 Agustus 2021   23:15 Diperbarui: 29 November 2021   15:32 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
orang ke tiga|sumber foto:pixabay

Aku jadi serba salah ketika Andien kembali memintaku bertemu dengannya secara langsung—lagi-lagi tidak bersama Andra. Waktunya minggu pagi, pukul sembilan, di kafetaria di seberang gedung olahraga pusat kota. Bukan perkara kekhawatiranku menemui Andien, melainkan malam sebelumnya, aku sudah mengiakan ajakan Andra untuk bermain tenis di gedung olahraga pusat kota tersebut pada jam yang sama.

“Aku sudah tidak tahan, No,“ ujar Andien di ujung telepon. Aku mendengar suara isak tangis yang menyertainya.

“Sabar, Ndien.”

“Aku sudah berusaha, Nino. Tapi, rasanya aku sudah tidak kuat lagi.”

“Aku akan membantumu, Ndien?”

Mungkin tawaran itulah yang membuat aku gelagapan menjawab permintaan Andien selanjutnya. Bagaimanapun juga, aku jelas tidak ingin menarik kembali tawaran bantuanku kepadanya.

“Makasih, ya, No.” Setelah itu isak tangisnya tidak terdengar lagi. Aku menghela napas. Ada huru-hara di dalam hatiku.

Pukul delapan pagi aku sudah berada di gedung olahraga lengkap dengan pakaian tenis dan raket. Tidak lupa baju ganti sudah aku siapkan di dalam ransel. Mungkin aku akan beralasan kepada Andien bahwa aku akan telat ke kafetaria. Kabar baiknya, belum sempat aku mengatakannya, tiba-tiba Andien menghubungiku.  

“Nino, maaf, ya. Aku mungkin agak terlambat satu jam ke sana. Kamu masih mau menunggu kan?”

“Ya, Ndien. Santai aja.”

Hampir saja ponselku jatuh ketika pundakku tiba-tiba ditepuk oleh seseorang.

“Udah lama, No?”

Aku mengelus-elus dada. Perasaan kaget dan salah tingkah  beraduk jadi satu. Andra ternyata datang lebih awal dari perjanjian. Dia memandangku sambil tertawa. “Lu kayak ngeliat setan aja,” selorohnya.

Setelah satu jam lebih kami saling memukul bola di lapangan, aku dan Andra beristirahat sejenak di pinggiran lapangan. Sementara lapangan sudah diambil alih oleh beberapa orang yang  ingin bermain.  

“Aku selalu saja salah di matanya, No. Dia bilang, aku kurang perhatian, kurang inilah, kurang itulah. Apa-apalah. Tingkahnya jadi kekanak-kanakan sekarang.”

Aku yang duduk berselonjor kaki di samping Andra hanya mengangguk-angguk saja mendengar keluhannya. Aku tahu Andra pernah mengatakan jika pekerjaan di kantor memang lagi sibuk-sibuknya. Mungkin itulah yang membuat Andra menjadi kurang perhatian ke Andien.

“Terus, selanjutnya, bagaimana? " tanyaku sekadar memastikan keinginan Andra terhadap hubungannya bersama kekasihnya itu.

“Ya, nggak gimana-gimana. Hubungan kami begini-begini aja. Nanti juga baik sendiri.”

“Emang selalu begitu, ya?”

“Andien akan minta maaf. Dia mengakui terlalu mengekang aktivitasku.”

Aku menghela napas panjang. Rasanya, aku tidak ingin menasehati Andra lebih lanjut. Percuma saja menurutku. Jangankan terhadap Andien, terhadap aku yang sahabatnya sejak kuliah pun, dia masih egois. Mungkin karena sudah hapal sifatnya, aku lebih banyak mengatasinya dengan cara mengalah. Meskipun begitu, aku mengakui Andra termasuk orang yang baik dan setia. Selama bersama Andien pun, belum pernah kudengar dia berselingkuh. Padahal, bisa jadi peluang itu ada mengingat Andra dan Andien yang kutahu pun jarang bertemu dan sering bertengkar.

Dering ponsel di kantong ransel mengagetkanku. Aku mengambilnya dan melangkah menjauh dari Andra, takut-takut jika yang menelepon adalah Andien. Betul saja, setelah kulihat, nama wanita itu tertera di layar. Sekilas, aku melihat Andra yang lebih tertarik memperhatikan empat orang bermain ganda di lapangan tenis.

“Oke, Ndien.”

Aku bersyukur Andra tidak menaruh curiga kepadaku. Kukatakan kepadanya aku tidak bisa melanjutkan permainan. Andra tidak mempermasalahkan pamitku yang tiba-tiba. Dia pun sepertinya tidak tertarik mengetahui alasanku. Setelah berganti pakaian, aku segera meluncurkan motorku ke seberang, tepatnya ke parkiran kafetaria. Aku masuk dan menuju meja di pojok kafe, serta memilih menu makanan sambil menunggu Andien datang.

“Hai, No. Maaf, ya lama.” Aku menyambut Andien dengan cipika-cipiki seperti biasa.  Kami duduk berhadapan. Entah mengapa, kali ini aku merasa canggung sekali. Detak jantungku menjadi tak berirama melihat kecantikan perempuan hadapanku. Bagaimana bisa Andra mengabaikan perempuan ini? Batinku.

“Bayangkan, No. Untuk hari libur saja, dia seperti tidak punya waktu mengajakku jalan-jalan,“ ucapnya.  

“Pekerjaan kantor sedang banyak-banyaknya, Ndien. Mungkin dia sibuk.”

“Selalu saja itu alasannya. “ Andien mendengkus. Aku tahu hatinya pasti kesal.

Selanjutnya, Andien lebih banyak bercerita tentang perasaannya. Bagaimana kejenuhannya menjalani hubungan bersama Andra—hubungan yang tidak pernah jelas akan dibawa ke arah mana. Aku mendengarkan sambil menelan potongan terakhir burger yang telah selesai kukunyah. Tiba-tiba tangannya terjulur ke wajahku, mengelap sudut bibirku dengan tisu yang tersedia di meja.

“Maaf. Saus tomatnya menempel,” katanya.

Aku secara sadar kemudian memegang pergelangan tangannnya. Pandangan kami saling beradu. Kulihat Andien terperangah. Di saat itulah, aku memberanikan diri mengatakan sesuatu kepadanya.  

“Aku meyukaimu, Ndien,” ucapku dengan perasaan penuh debar.   

Kulihat Andien tidak terkejut. Dia hanya tersenyum manis, manis sekali. Anggukan pelan kepalanya membuat hatiku seolah-olah takkuasa menjerit bahagia. Maafkan aku, Ndra. Salahmu sendiri telah menyia-nyiakan bidadari cantik ini. Untuk urusan yang satu ini, aku tidak akan mengalah padamu.

Andien merogohkan tangannya ke dalam tas merah yang dibawanya. Dia mengeluarkan benda pipih dari sana. Kulihat tangannya kemudian menscroll layar dan menekan nama yang tertera. Dengan menggunakan tangan kiri, benda pipih itu pun ditempelkan di telinganya. Sementara tangan kanannya menjulur ke tanganku yang kubalas dengan genggaman erat.   

Sambil menatapku dengan mata yang teduh, dia mengucapkan kata-kata melalui speaker ponsel untuk seseorang. “ Maaf, Ndra. Mulai hari ini, aku ingin menyudahi hubungan kita. Aku sudah tidak bisa mencintaimu lagi.”

---

-Shyants Eleftheria, salam Wong Bumi Serasan -

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun