Mohon tunggu...
Shulhan Rumaru
Shulhan Rumaru Mohon Tunggu... Administrasi - Penikmat Aksara

Penikmat Aksara

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Habib Rizieq dan Hiperealitas Panggung Politik

13 November 2018   04:33 Diperbarui: 13 November 2018   08:17 1140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG)

Membincangkan pentolan Front Pembela Islam, Muhammad Rizieq Shihab alias Habib Rizieq Shihab (selanjutnya disingkat HRS) memang akan selalu menarik. Terlebih saat ini, bisa dikatakan bahwa HRS termasuk dalam salah satu news maker yang selalu diburu media lantaran keterlibatannya dalam sejumlah "kegaduhan" politik nasional.

Kegaduhan politik kreasi HRS nampak jelas. Contohnya, melakukan pelantikan gubernur tandingan saat Menteri Dalam Negeri bersikeras melantik Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta usai kursi DKI 1 ditinggal Jokowi yang terpilih sebagai Presiden pada 2014 silam.

Hingga ke sini, semakin tenar nama HRS usai berhasil menggalang masa demonstrasi 212 dalam kasus Almaidah: 51 yang kemudian disusul demonstrasi angka-angka keramat lainnya.

Saking solidnya menggalang aksi demo berlabel Kapak Sakti Geni milik Wiro Sableng ini, HRS dkk. pun memiliki forum alumni 212 bahkan merambah sektor bisnis minimarket 212 yang kini keberadaannya tetap tak mampu menyaingi minimarket kenamaan yang sudah lebih dulu eksis "indoapril", sekalipun sudah sesumbar bahwa pembeli muslim akan beralih ke ritel baru mereka.

Kalau ditelisik dari perspektif teori naratif Walter Fisher dalam bukunya Human Communication as Narration: Toward a Philosophy of Reason, Value and Action (1987), salah satu hal utama yang menjadi power narasi adalah dapat dipercayanya karakter para aktor yang membawakannya.

Jadi, agak naif jika kita begitu saja menolak "pementasan" HRS belakangan ini nihil pemaknaan dan penanda khusus, pun wajar saja jika kita sedikit menaruh curiga dengan serangkaian aksi yang getol dilakoni HRS dkk.

Lantas, apa masalahnya?

Nah, persoalan timbul ketika kita membaca serangkaian narasi politik di balik aksi-aksi HRS yang erat kaitannya dengan politik. Misalkan, kasus Almaidah:51 yang oleh sebagian penggemar Ahok dianggap sebagai reaksi balasan atas pesan politik diskriminatif Risalah Istiqlal yang menyatakan haram memilih pemimpin kafir di DKI.

Risalah yang juga didukung sejumlah partai politik ini, dianggap kental dengan pesan politik yang melanggar hak konstitusional warga. Ajakan untuk menolak pemimpin berdasarkan agama tersebut, dinilai dapat menciderai demokrasi di Indonesia. Namun apa mau dikata, seruan ini kian menemukan momentum usai keceletot lidah Koh Ahok di Pulau Seribu yang berujung jeruji besi baginya.

Di lain sisi, aroma politik Risalah Istiqlal kian menyengat ketika parpol yang berafiliasi dengan gerakan itu, ternyata juga mendukung politisi dan kandidat nonmuslim di provinsi bahkan kabupaten lain dalam kontestasi pilkada. Sehingga, orang bertanya-tanya, bagaimana mungkin satu ayat serupa (Almaidah:51) yang digunakan dalam menjegal Ahok, begitu elastis dalam kontestasi politik di daerah lain.

Jawabannya hanya satu, yaitu skema politik. Lah, kalau bukan perkara politik, apalagi coba? Kira-kira begitu kecurigaan banyak orang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun