Mohon tunggu...
Mohammad Iqbal Shukri
Mohammad Iqbal Shukri Mohon Tunggu... Jurnalis - Manusia penyuka sambel setan

Belajar meramu tulisan dengan cita rasa kenikmatan sambel setan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Katanya Petani Pekerjaan Mulia, Tapi Kok Tetap Dimarjinalkan?

4 November 2020   12:39 Diperbarui: 4 November 2020   12:47 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
doucefleur on Pinterest

Setiap manusia membutuhkan makan. Bahkan nabi sekalipun. Sumber makanan salah satunya dihasilkan dari aktivitas pertanian. Mengolah tanah, menanam benih, merawat tanaman, hingga panen dan siap untuk di distribusikan. Pelaku utama yang menjalankannya adalah petani. 

Kerja-kerja yang dilakukan petani selain untuk dirinya, juga untuk khalayak. Mereka bekerja untuk kelangsungan hidup orang banyak. Orang yang bekerja di kantor, di perusahaan manufaktur dan jasa mereka tetap membutuhkan peran petani.

Praktisnya, bekerja untuk mendapatkan uang, dengan uang bisa membeli makan dan mencukupi kebutuhan lainnya. Namun bagaimana jika, tidak ada orang yang mau bekerja sebagai petani, tidak mau mengolah tanah, menanam, kemudian ladang dan sawah dialihfungsikan menjadi pabrik yang fokus pada bidang manufaktur dan jasa. Maka bisa dipastikan akan terjadi krisis pangan, saat itu terjadi, maka uang yang didapat tidak akan ada artinya. 

Jadi tidak salah, jika Presiden Jokowi menilai bahwa menjadi petani adalah pekerjaan yang mulia. Bahkan ia berpesan kepada para pemuda untuk tidak malu menjadi petani. Saya sepakat dengan penilaian Presiden Jokowi ini. Namun saya akan lebih sepakat lagi saat ungkapan Presiden Jokowi ini bukan hanya sekadar retorika untuk memotivasi para pemuda saja, melainkan ada dukungan penuh pemerintah pada sektor pertanian. 

Jika presiden Jokowi tahu, petani yang Anda nilai mulia itu, kini atau beberapa puluh tahun yang lalu, saat saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) pun, pekerjaan menjadi petani itu sudah tidak menjadi prioritas cita-cita seseorang. Jika anda tidak percaya dan ingin membuktikannya, pergilah ke salah satu Sekolah Dasar, atau jenjang pendidikan ke atas lainnya, coba tanyakan apa cita-cita sang murid. Saya mungkin masih meyakini jawaban dari sekian banyak murid yang akan anda tanya, tidak ada yang berkeinginan atau ber cita-cita menjadi petani. 

Bahkan anak seorang petani pun saat anda tanya pasti mereka tidak ingin bercita-cita sebagai petani seperti pekerjaan ayahnya. Di samping itu, sang ayah juga menghendaki bahwa sang anak harus bekerja di luar pekerjaan petani. Sebab sang ayah sudah mengalami bahwa menjadi seorang petani itu sulit untuk sejahtera. Petani setiap harinya dirundung bayang-bayang gagal panen, ketidakpastian harga, seperti harga yang bisa sewaktu-waktu turun saat panen tiba. 


Pertanyaannya, saat anda menilai pekerjaan petani itu sangat mulia, apakah anda mampu juga mengimbanginya dengan memperbaiki citra seorang petani yang di mata anak-anak, remaja, hingga dewasa yang memiliki pandangan berbanding terbalik dengan pandangan anda itu. Mereka memandang pekerjaan petani itu, kotor, panas, keras dan tidak menjanjikan. Anak-anak akan memilih kerja-kerja yang memang pendapatannya pasti seperti mendapatkan gaji bulanan beserta tunjangannya. 

Selain ungkapan Presiden Jokowi tentang petani itu mulia, ada ungkapan lain yaitu Ia menilai jika pertanian organik adalah masa depan yang memiliki peluang besar pada pasar industri. Antara ucapan dan realita nampaknya terdapat kesenjangan yang begitu kentara.

Jika Presiden Jokowi menilai bahwa pertanian organik adalah masa depan yang memiliki peluang di pasar industri, kebijakan apa yang sudah dilakukan pemerintah untuk mendukung pertanian organik?

Sedangkan kita lihat bersama bahwa subsidi pupuk kimia itu tetap terus berlangsung, meskipun dalam realitasnya dari tahun ke tahun, kebijakan pupuk tersebut juga mengalami masalah yang dari tahun ke tahun terus berulang. 

Pupuk merupakan bagian terpenting bagi kelangsungan produksi pertanian. Pupuk berdampak pada kuantitas atau kualitas hasil produksi. Namun coba lihat di desa-desa kebijakan pupuk dari pemerintah masih menjadi problem yang tak kunjung usai. Kelangkaan pupuk, harga pupuk yang mahal dan lainnya. 

Pupuk kimia (konvensional) layaknya sudah menjadi candu bagi sebagian petani. Mereka berpandangan bahwa kuantitas produksi dan efektivitas dari hasil penggunaan pupuk kimia lebih baik dibanding pupuk organik. Tidak salah jika para petani memilih kuantitas dibanding kualitas dari sisi kesehatan hasil produksi, demi meraih kesejahteraannya. Keadaan yang membuat petani seperti itu.

Petani yang semakin ke sini semakin termarginalkan. Mereka yang bekerja keras memproduksi, nyatanya dalam hal keuntungan kalah besar dengan pendapatan yang didapat oleh tengkulak, dan pedagang. 

Coba tanaman apa yang sekarang tidak mengandung bahan kimia saat proses penanaman. Ketela dan kacang tanah yang ada di dalam tanah pun kiranya dalam perawatan tanamnya juga menggunakan pupuk kimia. Karena memang para petani menginginkan kuantitas produksi yang banyak dan cepat, supaya bisa mendapatkan pendapatan yang cukup banyak juga. 

Jadi tidak heran jika saat ini jarang sekali kita temukan orang-orang yang memiliki umur lebih dari 100 tahun. Salah satu faktornya karena memang sudah sejak awal makanan di produksi dengan kurang sehat. Meskipun begitu, toh pemerintah juga menghendakinya.  Jika tidak menghendaki, mengapa pemerintah tidak menyudahi saja subsidi pupuk kimia itu? 

Jika menelisik lebih dalam, kiranya masih ada banyak problem yang membayangi sektor pertanian di negeri ini. Yaitu menurunnya angka lahan pertanian. Data Kementerian ATR/BPN menunjukkan pada 2018 luas baku sawah di Indonesia tinggal 7,1 juta hektar (ha) atau turun dibandingkan 2013 yang masih 7,75 juta ha, sebagaimana dikutip dari cnbcindonesia.com. Berkurangnya lahan tanam, menyebabkan potensi kehilangan pangan itu menjadi lebih besar. Belum lagi konflik agraria yang masih sering terjadi, seperti konflik agraria di urutsewu. Lantas di mana keberpihakan pemerintah terhadap sektor pertanian, jika konflik agraria masih massif terjadi? 

Lebih jelasnya memang saat ini, sektor pertanian bukanlah prioritas dari pemerintah. Terlihat dari rincian  APBN 2021, anggaran Kementerian Pertanian  Rp 21,83 triliun. Jumlah ini masih dibawah dari anggaran dari Kementrian Pertahanan yaitu Rp 136,99 triliun, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebanyak Rp 111,97 triliun. 

Mengapa pada sektor pertanian yang katanya menjanjikan di masa depan, tapi malah tidak menjadi prioritas? Entahlah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun