"Aku... Maaf ini semua salahku, seharusnya aku tidak menceritakan masalah payah ini kepadamu."
"Masalah payah, maksud kamu apa?"
"Jujur, aku tidak tahu harus menceritakan atau berbagi pendapat kepadamu dari mana."
"Katakan saja, aku akan mendengarkannya. Jika sudah selesai, aku akan mencoba membantumu untuk memberi pedapatku terhadap ceritamu."
"Baiklah." "Kamu tahu bukan, jika saat ini sedang menjalankan sebagai tulang punggung keluarga. Begitupun juga dengan kau Ra."Â
"Lalu," ucapku yang semakin penasaran dengan cerita pertamanya semenjak aku mengenalnya.
"Sebenarnya aku tidak merasa sanggup menjalani ini Ra? Jujur saja, aku merasa dibohongi oleh seseorang dan itu benar-benar membuatku sangat hancur saat ini. Aku tidak pernah memintanya untuk melakukan apa-apa untukku, tetapi aku hanya meminta nya untuk tetap melakukan tugasnya untuk adikku saat ini. Tapi lagi-lagi takdir sudah menentukannya, dia sudah tidak bisa menjalani tugasnya dengan beban dimana adikku masih harus melakukan kawajibannya dengan usianya yang masih remaja. Apa menurutmu aku terlihat egois, jika aku mempunyai pikiran seperti itu kepadanya. Bahkan aku tidak bisa marah kepadanya karena dia masih satu darah daging denganku. Tapi, disisi lain dia juga tidak melihat bagaimana penderitaanku selama ini. Seseorang pernah memberiku saran agar bersikap tegas kepadanya, namun aku tidak bisa melakukannya. Karena menurutku itu bukan sifatku. Dan pada akhirnya aku menggunakan cara lain, agar dia memahami dengan jalan pikiranku saat ini."
"Apakah masalah itu sudah selesai?"
"Sudah, namun masalah lain datang menghampiriku."
"Masalah lain?"
"Masalah yang ini akan membuat seseorang akan berfikir lain terhadapku. Bukankah sebelumnya, kau sudah mengetahui masalah yang ini Ra?"