Mohon tunggu...
Shonifah Albani
Shonifah Albani Mohon Tunggu... -

Member Of Syariah Lawyer Community works at company of technolgy information as a corporate lawyer

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Objek Jaminan Fidusia Yang Tidak Didaftarkan

13 Juni 2012   04:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:02 5562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertumbuhan ekonomi Indonesia sedang berkembang.. Denyut pergerakan ekonomi ini dimanfaatkan oleh para pelaku usaha untuk membangun bisnis di bidang jasa pembiayaan konsumen yang mulai popular sejak tahun 1974 (Abdul Kadir Muhammad: Lembaga Pembiayaan, 2004). Hubungan hukum yang terjalin antara konsumen dengan perusahaan pembiayaan terwujud dalam bentuk perjanjian kredit dengan jaminan fidusia, sehingga bentuk perikatan ini harus tunduk pada beberapa aturan terkait diantaranya KUH Perdata Pasal 1313, Pasal 1338, Pasal 1320, UU Nomor 42/1999 tentang Jaminan Fidusia, PP Nomor 86/2000 tentang Tata cara Pendaftaran Jaminan Fidusia, Peraturan Presiden No. 9/2009 tentang Lembaga Pembiayaan dan peraturan terkait lainnya.

Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok kemudian melahirkan perjanjian turunan yang bersifat accessoir yaitu perjanjian jaminan fidusia dari Leasing (Kreditor) kepada Konsumen (Debitor) demi melindungi dan memberikan kepastian bagi Kreditor bahwa hutang atau kredit yang diberikan kepada Debitor akan terbayar jika terjadi Debitor cidera janji, yaitu dengan eksekusi objek benda jaminan fidusia. Jaminan Fidusia sendiri merupakan suatu jaminan atas benda bergerak yang penguasaannya masih dalam penguasaan Debitor meskipun telah terjadi pengalihan kepemilikan (Ps. 1 butir 1 UU Fidusia).

Apabila kita membaca beberapa putusan pengadilan dr tingkat pertama sampai dengan tingkat kasasi Mahkamah Agung ("MA"), kita akan menjumpai banyak sekali persoalan yang muncul dalam praktek perjanjian fidusia ini. Dari sekian banyak kasus dengan kondisi yang berbeda kita dapat menarik satu benang merah yang menjadi akar persoalan. Misalnya dalam Pasal 5 ayat (1) UU Fidusia diatur bahwa pembebanan Objek Jaminan Fidusia dibuat dengan akta notaries, yang kemudian didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia dalam lingkup Departemen Hukum dan HAM Republik Indonesia (“Depkumham”) sebagaimana diatur dalam Pasal 11 ayat (1) UU Fidusia.

Atas pendaftaran Objek Jaminan Fidusia ini maka penerima Fidusia akan menerima Sertifikat Jaminan Fidusia dengan tanggal berlaku sesuai dengan pendaftaran (Pasal 14 ayat 1), disinilah pangkal persoalannya bahwa jaminan fidusia baru berlaku pada saat didaftarkan bukan pada saat dibuatnya akta jaminan fidusia, sementara UU Fidusia maupun PP-nya tidak mengatur kapan suatu Objek Fidusia harus didaftarkan. Sementara dalam Pasal 15 ayat (2) Sertifikat Jaminan Fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan, artinya jika Debitor cidera janji Kreditor mempunyai hak untuk melakukan eksekusi sendiri atas objek jaminan fidusia yaitu dengan melakukan pengambilan dan menjual objek jaminan fidusia atas kekuasaan sendiri. Konsekuensi logisnya adalah jika Kreditor tidak mempunyai sertifikat jaminan fidusia maka Kreditor tidak berwenang untuk melakukan eksekusi, atau dengan kondisi lain Debitor berhak mengalihkan Objek Fidusia sebelum Objek fidusia didaftarkan (Ps. 36 UU Fidusia: ketentuan pidana bagi Debitor yang mengalihkan Objek Fidusia tanpa persetujuan Kreditor). Kasus seperti ini dapat dijumpai pada Putusan Kasasi MA No. 213 K/Pid/Sus/2010. Secara singkat, konsumen menjual mobil yang dibeli dari Leasing secara kredit kepada pihak ketiga tanpa persetujuan Leasing. Kasus ini ditarik menjadi kasus pidana terkait dengan norma dalam Ps. 36 UU Fidusia. Pada putusan pengadilan tingkat pertama konsumen dibebaskan dengan pertimbang majelis hakim Objek Jaminan Fidusia baru didaftarkan pada tahun 2008, sementara pengalihan (penjualan) telah dilakukan pada tahun 2007. Namun pada putusan kasasi MA terdakwa dijatuhi pidana penjara 6 (enam) bulan dan denda Rp. 2.000.000 (dua juta Rupiah).

Pada situasi seperti ini dimanakah kekuatan asas "Kebebasan Berkontrak" yang diejawantahkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata?, bahwa sebuah perjanjian menjadi undang-undang bagi para pihak yang menandatanganinya. Hal-hal yang bersifat administratif (pemberlakuan tanggal jaminan sesuai dengan tanggal pendaftaran) seharusnya tidak mengesampingkan suatu asas dalam pemberlakuan suatu ikatan hukum. Idealnya adalah pemberlakuan tanggal pendaftaran Sertifikat Jaminan Fidusia diberlakukan sama dengan tanggal pada saat pembuatan Akta Jaminan Fidusia, selain itu ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang Jaminan Fidusia harus mengatur kapan suatu Objek Jaminan Fidusia wajib didaftarakan, dan apa konsekuensinya jika Objek Jaminan Fidusia tidak didaftarkan namun hanya dibuat Akta Jaminannya saja. Dengan demikian hak penerima fidusia dapat terlindungi secara utuh, dan pemberi fidusia tidak salah memperlakukan suatu Objek Jaminan Fidusia yang masih dalam penguasaannya.

Peraturan perundang-undangan memang tidak selalu sempurna, dan cenderung lebih tertinggal dari fakta hukum yang yang hidup di tengah masyarakat, apalagi bagi suatu negara yang menganut sistem hukum civil law. Karena suatu aturan perundang-undangan yang tertulis akan lebih lambat progresnya terkait dengan pembentukan, pengesahan suatu undang-undang. Namun demikian, fakta yang hidup di masyarakat dapat menjadi sumber utama dari amandemen suatu peraturan, karena hukum yang baik adalah hukum yang hidup di tengah masyarakat (living law), agar kerjasama yang terjalin antar subjek hukum tidak berujung pada sengketa.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun