Mohon tunggu...
Shofyan Hanafi
Shofyan Hanafi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Filsafat Universitas Gadjah Mada

Senang menulis dan berdialektika

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menilik Tren Bunuh Diri di Kalangan Pelajar

23 Februari 2024   14:00 Diperbarui: 23 Februari 2024   14:08 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belakangan ini sering kita mendengar cerita-cerita tak mengenakkan tentang kasus tragis para pelajar di seluruh penjuru negeri. Beberapa dari mereka memilih mengakhiri hidupnya karena perundungan, beberapa lagi mengaku sudah tidak kuat dengan beban hidup yang selama ini dipikulnya. Beberapa dari mereka masih sangat belia dan baru saja menjajaki bangku sekolah menengah, sedangkan beberapa yang lain merasa terbebani dengan berbagai pressure di kampus dan di tanah perantauan.

Kasus-kasus ini tidak sedikit, bahkan semakin ke sini semakin membuat kita meneteskan air mata. Hari demi hari silih berganti dan hampir setiap pekan ada saja berita tentang pelajar yang mengakhiri hidupnya. Sampai kapanpun, hilangnya nyawa seseorang tidak bisa dan tidak boleh dianggap hal yang sepele. Namun, sangat disayangkan perhatian masyarakat kita terkait dengan mental health dan antisipasi bunuh diri masih sangat minim. Padahal hampir seluruh kejadian bunuh diri yang terjadi adalah akibat dari overload mental seorang korban.

Maka pada kesempatan kali ini, penulis akan sedikit menganalisis fenomena maraknya bunuh diri ini secara lebih mendasar, terkait dengan macam-macam variabel yang mendorong seseorang untuk mengakhiri hidupnya sendiri dan segala yang berhubungan dengannya.

Dorongan Aktif

Ada dua jenis dorongan yang dirasakan oleh seseorang yang berpotensi untuk mengakhiri hidupnya. Dorongan yang pertama ialah dorongan aktif. Dorongan aktif berbentuk segala sesuatu yang secara langsung dan sadar dilalui oleh korban. Dalam beberapa kasus, dorongan aktif ini bisa jadi berbentuk perundungan dari lingkungan sendiri, senantiasa merasa kesepian dan terasingkan dari orang lain, beban hidup yang begitu berat dan overwhelming, dan masih banyak lagi. 

Kesamaan yang ditemukan diantara dorongan-dorongan aktif ini adalah korban akan senantiasa berusaha untuk menghilangkan dorongan-dorongan tersebut secara sadar dan instingtif. Hal ini dikarenakan manusia akan senantiasa membawa naluri untuk bertahan hidup dalam kehidupannya, mereka yang pada akhirnya memilih mengakhiri hidupnya seringkali adalah mereka yang kehilangan naluri tersebut. Mereka merasa sudah mati bahkan di saat mereka belum dijemput maut.

Prinsip aktif ini pada dasarnya bisa diatasi dengan komunikasi yang baik antara korban dan orang-orang terdekatnya, maupun dengan korban yang bisa mengkomunikasikan adanya dorongan-dorongan tersebut ke psikolog ataupun konselor yang menangani kasus-kasus depresi. Hal ini dikarenakan sifat alamiah dari dorongan-dorongan aktif ini ialah ia bisa dihentikan dan dilampiaskan pada hal-hal lain. Sebagai contohnya, orang yang dirundung akan bisa kembali menyadari kalau dunianya masih baik-baik saja ketika perundungan itu berhenti ataupun berubah menjadi hujan kalimat-kalimat motivasi dan afirmasi dari teman-temannya. Contoh yang lain, seseorang yang merasa terbebani oleh hidup akan bisa kembali termotivasi untuk bergerak apabila sebagian bebannya dihilangkan ataupun dibagikan sebagian kepada orang lain.

Pada dasarnya dorongan aktif ini bisa di-counter selama kita peka dengan para korban yang memang membutuhkan teman untuk bisa mendengar cerita mereka ataupun seseorang yang bisa mengatakan kepada mereka bahwa hidup akan baik-baik saja. Namun, hal ini berkebalikan dengan jenis dorongan yang kedua, yang akan sulit untuk diubah apalagi dihilangkan.

Dorongan Pasif

Sebelum masuk pada jenis dorongan kedua, penulis ingin memberikan disclaimer bahwa semua tulisan ini hanya opini penulis dan boleh saja kita berbeda pendapat maupun berbeda pemahaman, namun yang jelas penulis juga ingin menyudahi kasus-kasus bunuh diri ini sehingga kelak tidak ada korban lagi.

Jenis kedua, adalah dorongan yang seringkali tidak disadari oleh korban depresi, bahkan seringkali orang di sekitarnya pun tidak tahu menahu. Dorongan ini terkait dengan adanya kemudahan akses informasi di segala lini, kemudahan seseorang untuk mampu memperoleh informasi tentang bunuh diri itu sendiri. Mengapa keluwesan informasi ini menjadi problematik? Karena informasi yang melimpah ruah itu membuka ruang untuk suatu tren berjalan, tren itu adalah tren bunuh diri.

Mungkin sedikit dari kita menyadari, bahwasanya berbagai macam tren kekinian semua berawal dari kemudahan mendapat informasi dari suatu sumber viral. Demikian pula halnya dengan bunuh diri sebagai suatu tren, dengan mudahnya kita mendapatkan informasi tentang orang-orang yang mengakhiri hidupnya sebagai jalan terakhir keputusasaan mereka. Mungkin beberapa orang akan menangkap hal tersebut sebagai hal yang perlu diwaspadai, namun sebagian yang lain akan menjadikan informasi tersebut sebagai pembenaran dari tindakan tersebut. Dengan merasa tidak sendirian dan dengan merasa banyak orang melakukan bunuh diri di puncak keputusasaan, maka semakin banyak orang yang meniru tren tersebut.

Maka di awal penulis katakan tentang betapa sulitnya mengubah dorongan pasif ini, karena pada dasarnya kemudahan akses terhadap informasi adalah buah dari kemajuan teknologi dan kemajuan zaman itu sendiri. Alhasil pemberantasan kasus-kasus bunuh diri ini tidak bisa hanya dilakukan melalui pendekatan psikologis dan humanisme, namun juga melalui peningkatan kesadaran tentang dampak media sosial terhadap kecenderungan berpikir manusia. Karena pada akhirnya kemajuan zaman akan terus terjadi “suka tidak suka dan mau tidak mau”, hanya kemudian bagaimana kita bisa mengatasi kekurangan-kekurangan yang dibawa oleh kemajuan tersebut.

*****

Sebagai penutup, penulis ingin menyampaikan bahwasanya banyak sekali alasan seseorang memilih untuk mengakhiri hidupnya. Tetapi kita tidak akan tahu kecuali bertanya kepada mereka yang sudah melakukan.  Dan bagaimanapun juga, kita tidak bisa bertanya pada orang yang sudah tiada, maka dari itu sebagai pelajar yang baik, sebagai teman yang baik, sebagai seseorang yang peduli dengan lingkungannya, penting rasanya bagi kita untuk menunjukkan kepada mereka yang membutuhkan bantuan, bahwa harapan akan selalu ada, sebagaimana dalam film Hunger Games dikatakan: “Yang lebih kuat daripada ketakutan hanyalah harapan”, maka menjadi kewajiban kita untuk selalu menyebarkan harapan dan sukacita kepada semua orang di manapun dan kapanpun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun