Siapa sih yang nggak tergoda sama minuman kekinian? Dari kopi susu gula aren sampai boba dengan topping warna-warni semua terasa lebih spesial kalau disajikan dalam kemasan minuman bening dengan sedotan lucu. Saking estetiknya, rasanya sayang kalau nggak diabadikan dulu buat konten Instagram atau TikTok. Tapi di balik keseruan itu ada cerita lain yang jarang kita pikirkan, sampah plastik sekali pakai dari kemasan minuman dan sedotan yang kita pakai cuma beberapa menit bisa bertahan ratusan tahun di bumi. Lebih parah lagi plastik itu bisa hancur jadi mikroplastik yang tanpa sadar masuk ke air minum, makanan ,bahkan udara yang kita hirup. Artinya “kemasan minuman lucu” yang kita pegang hari ini bisa jadi ancaman serius buat kesehatan tubuh sekaligus meninggalkan jejak panjang untuk lingkungan.
Ancaman ini bukan sekedar cerita tanpa data karena faktanya Indonesia termasuk salah satu negara dengan produksi sampah plastik terbesar di dunia. Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia menghasilkan sekitar 68,5 juta ton sampah setiap tahunnya dan 18% di antaranya merupakan sampah plastik (KLHK, 2022). Mayoritas plastik sekali pakai seperti sedotan, kantong, dan kemasan minuman minuman punya sifat yang sama yaitu sulit terurai. Bayangin, satu sedotan plastik bisa butuh ratusan tahun untuk hancur sempurna di alam. Dampaknya bukan cuma bikin pemandangan kotor tapi juga mengancam ekosistem. Contohnya hewan laut bisa salah mengira potongan plastik sebagai makanan sementara mikroplastik yang terbentuk dari pecahan plastik akhirnya masuk ke rantai makanan manusia. Jadi masalah ini bukan sekadar soal kebersihan lingkungan tapi juga soal keamanan pangan dan kesehatan kita sendiri. Fenomena ini bisa kita lihat jelas di sekitar kita di banyak daerah, sungai dan pantai dipenuhi tumpukan plastik sekali pakai yang dibuang sembarangan. Bahkan, beberapa komunitas seperti Pandawara Group sering turun langsung membersihkan sungai dan pantai dari gunungan sampah plastik , bukti nyata bahwa persoalan “kemasan minuman lucu” yang awalnya terlihat sepele sebenarnya meninggalkan jejak besar yang merusak bumi.
Ancaman Plastik Yang Tidak Terlihat
Mikroplastik kini sudah menjadi bagian dari rantai makanan WHO dalam laporannya Microplastics in Drinking-water (2019) menemukan bahwa partikel plastik terdeteksi baik dalam air minum kemasan maupun air keran. Penelitian terbaru bahkan memperkirakan bahwa satu liter air botol bisa mengandung hingga 240.000 potongan plastik kecil sebagian besar berupa nanoplastik yang ukurannya sangat kecil hingga mampu menembus jaringan tubuh manusia (NIH, 2024). Fakta ini menunjukkan bahwa ancaman plastik tidak lagi berada jauh di laut atau Sungai tapi sudah masuk ke tubuh kita melalui hal-hal sederhana yang kita konsumsi setiap hari.
Yang lebih bikin khawatir plastik tidak hanya berupa partikel fisik, tetapi juga membawa zat kimia berbahaya seperti BPA dan ftalat. WHO menegaskan bahwa bahan-bahan ini termasuk endocrine disruptors zat yang bisa mengacaukan sistem hormon tubuh. Studi terbaru (Li et al., 2023) menemukan bahwa paparan jangka panjang terhadap bahan kimia plastik dapat meningkatkan risiko gangguan reproduksi, masalah pencernaan, obesitas, hingga kanker. Bahkan, sebuah penelitian antenatal (Exposure and Health, 2023) menunjukkan bahwa paparan bisphenols dan PFAS bisa berdampak pada perkembangan janin sejak dalam kandungan artinya risiko plastik bisa memengaruhi kesehatan manusia lintas generasi.
Dampaknya juga tidak berhenti pada kesehatan fisik kerusakan lingkungan akibat plastik ikut memengaruhi kesehatan mental. UNICEF (2021) menyoroti meningkatnya fenomena eco anxiety di kalangan anak muda yaitu rasa cemas, takut, dan tidak berdaya ketika menyaksikan bumi semakin rusak. Bayangkan generasi yang seharusnya penuh harapan justru dihantui rasa khawatir terhadap masa depan planet tempat mereka hidup. Jadi, masalah plastik ini jelas bukan hanya soal sampah yang menumpuk di sungai atau pantai melainkan menyangkut kesehatan tubuh, kualitas hidup, dan kesejahteraan mental kita sehari-hari.
Dilema Gen Z Antara Tren dan Lingkungan
Gen Z sering dikaitkan dengan gaya hidup serba cepat dan praktis mulai dari kopi susu kekinian, boba, sampai fast food hampir semuanya dikemas dalam plastik sekali pakai. Kemasan minuman bening, sedotan warna-warni, sampai kantong kresek jadi bagian yang seolah nggak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Ironisnya generasi ini juga dikenal sebagai yang paling vokal soal isu lingkungan. Cukup scroll TikTok kamu bisa menemukan tren eco-friendly lifestyle, kampanye zero waste, sampai gerakan Pandawara Group yang viral membersihkan sungai dan pantai penuh sampah. Gen Z ingin tampil peduli bumi tapi di saat yang sama kebiasaannya justru ikut menyumbang pada masalah plastik.
Kontradiksi ini melahirkan dilemma di satu sisi ingin serba praktis dan mengikuti tren, tapi di sisi lain merasa bersalah karena sadar dampaknya pada lingkungan. Ketegangan antara kebutuhan gaya hidup dan nilai yang diperjuangkan inilah yang bisa menjadi titik balik kesadaran. Generasi ini punya potensi besar bukan hanya sebagai “penonton perubahan” tapi motor utama yang menentukan arah masa depan bumi.
Aksi Nyata Dari Tren ke Gerakan
Kalau tadi Gen Z digambarkan masih terjebak dilema antara gaya hidup praktis dan kepedulian lingkungan, sekarang saatnya membuktikan bahwa perubahan itu bisa terjadi. Solusi tidak harus besar dan rumit justru bisa dimulai dari kebiasaan kecil yang konsisten seperti bawa tumbler sendiri saat beli kopi susu atau boba, pakai sedotan stainless atau bambu, serta memilih brand yang punya komitmen ramah lingkungan adalah langkah sederhana tapi berdampak nyata serta mengurangi minuman kemasan sekali pakai juga bisa jadi pilihan bijak.