Tren S-Line: Ketika Generasi Muda Bangga dengan Zina!
Oleh: Ummu BisyarahÂ
Media sosial Indonesia tengah dihebohkan oleh kemunculan tren visual bernama "S-Line", yang viral usai dirilisnya drama Korea berjudul S Line pada Juli 2024 melalui platform streaming Wavve. Dalam drama tersebut, para karakter digambarkan memiliki garis merah berbentuk huruf S di atas kepala, sebagai simbol seberapa sering mereka melakukan hubungan seksual. Uniknya, indikator itu bisa dilihat secara kasat mata oleh orang lain. Namun yang lebih mengejutkan, justru banyak remaja Indonesia kini mengikuti tren ini dengan mengunggah foto diri mereka disertai efek garis merah tersebut, seolah ingin menunjukkan bahwa mereka juga "aktif secara seksual".
Menurut laporan serambinews.com (18/07/2024), tren ini telah menyebar luas di TikTok dan Instagram, di mana para remaja dengan bangga membuat editan diri mereka menggunakan filter atau efek S-Line. Tribunnews (19/07/2024) mencatat bahwa sebagian pengguna bahkan secara eksplisit menyatakan bahwa garis itu adalah bentuk "pengakuan" terhadap pengalaman seksual mereka. Tempo.co (19/07/2024) dalam laporannya menyebut fenomena ini sebagai "tren mengkhawatirkan yang mengaburkan batas antara ekspresi diri dan promosi perilaku seksual bebas".
Fenomena ini bukan sekadar tren lucu-lucuan. Ini adalah refleksi dari rusaknya sistem nilai generasi muda hari ini, yang tidak lagi memandang zina sebagai aib, tetapi justru dianggap keren, modern, dan terbuka. Berbeda dari generasi sebelumnya yang masih menjunjung tinggi rasa malu (haya'), generasi hari ini tumbuh di tengah sistem yang menormalisasi pelanggaran moral. Konten hiburan, selebriti, dan media sosial memberi ruang luas pada gaya hidup bebas, tanpa ada filter halal-haram. Bahkan hubungan di luar nikah sering kali dipromosikan dalam drama, iklan, hingga lagu-lagu pop sebagai hal yang romantis dan membebaskan.
Secara psikologis, tren ini mencerminkan gejala hilangnya rasa malu sebagai pertahanan moral paling dasar. Remaja kini diajarkan bahwa kebebasan adalah segalanya, termasuk bebas dari batasan agama. Mereka tidak hanya kehilangan rasa takut terhadap dosa, tapi juga tidak merasa bersalah atas perbuatan maksiat. Menurut psikolog klinis Ajeng Raviando (cnnindonesia.com, 12/07/2024), anak muda saat ini mengalami pergeseran identitas yang membuat validasi dari media sosial lebih penting daripada nilai agama atau keluarga.
Sosiolog Ariel Heryanto pernah menyatakan bahwa di era digital ini, "eksposur lebih dihargai daripada etika." Remaja yang bisa tampil vulgar atau berani bicara soal seks bebas justru dianggap lebih menarik, lebih "gaul", bahkan lebih percaya diri. Inilah realitas generasi yang terpapar konten barat sejak dini, tanpa pembatasan yang sehat dari sistem pendidikan atau negara.
Kita sedang menyaksikan efek dari sistem kapitalisme sekuler yang mengatur dunia hari ini, di mana agama dipinggirkan dan kebebasan dijadikan tolak ukur utama. Dalam sistem ini, zina bukan lagi kejahatan moral, tapi sekadar pilihan pribadi. Negara pun tampak pasif; penindakan terhadap konten bermuatan seksual sering kali hanya bersifat seremonial. Bahkan platform media sosial tetap dibiarkan bebas mempromosikan gaya hidup bebas, selama menguntungkan secara ekonomi.
Islam memberikan solusi komprehensif. Dalam Islam, zina adalah dosa besar yang merusak individu, keluarga, dan masyarakat. Allah SWT berfirman: "Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu adalah perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (TQS Al-Isra: 32).
Islam tak hanya memberi batasan tegas, tapi juga mendidik manusia sejak dini untuk menjaga pandangan, menutup aurat, dan menahan hawa nafsu. Negara Islam (kh1laf4h) memiliki peran utama dalam menciptakan atmosfer masyarakat yang suci, dengan kurikulum pendidikan yang berbasis akidah, media yang diarahkan untuk membentuk kepribadian islami, serta sanksi hukum yang mencegah kerusakan moral.
Tren S-Line ini bukan cuma tren viral. Ia adalah sinyal kerusakan yang sedang menjalar dalam sunyi. Ketika zina dijadikan kebanggaan dan rasa malu dihina sebagai kuno, maka kita perlu bertanya, ke mana arah generasi ini? Sudah saatnya umat Islam sadar bahwa hanya dengan kembali kepada Islam secara kaffah, kita bisa menyelamatkan generasi dari kehancuran moral yang semakin nyata di depan mata.