Mohon tunggu...
Butet Pagaraji
Butet Pagaraji Mohon Tunggu... Guru - Seorang Guru, Penggila Tuhan dan Pencinta Ilmu, Alam Semesta serta Sesama Manusia

aku ruang di labirin jiwa, menganga, menelan makna, menuang cerita, tanpa bangga, hanya cinta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

John Dewey: Experiential Learning "Hands On Approach"

17 September 2021   23:51 Diperbarui: 17 Mei 2022   07:18 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sources: https://www.educationcorner.com/

Kekuatan teori ini, menunjukkan peluang yang terbuka lebar bagi murid menjadi seorang observer yang melakukan riset dan mengambil kesimpulan dari proses belajar. Aktifitas pembelajaran juga tidak terpusat pada guru melainkan pembelajaran berpusat pada murid. Guru hanya sebagai fasilitator atau mediator dalam menyampaikan materi pendidikan.

Proses belajar juga bersifat kolaboratif yang melibatkan komunitas untuk membentuk sebuah pengalaman pembelajaran. Apa yang murid observasi memiliki nilai personal, berbeda satu dengan lain dan pada akhirnya melahirkan kekayaan pengalaman yang dapat saling dibagikan satu dengan yang lain. Melalui pengalaman mengijinkan terbentuknya sikap dan cara memandang sesuatu dari berbagai sudut pandang.

Kelemahan dari teori Dewey adalah bahwa pembelajaran menjadi begitu subyektif dan tidak benar-benar cukup menyediakan pengetahuan atau petunjuk yang mendalam tentang dunia. Proses belajar yang terpusat kepada murid, menjadi tidak spesifik mengenai capaian pembelajaran dan bersifat general saja. Ditambah lagi, tanpa pengarahan, ukuran standar dan batasan serta capaian tujuan yang jelas, murid-murid akan mengumpulkan begitu saja seluruh sumber-sumber yang diperoleh dalam pengalaman pembelajaran tanpa filter sehingga dapat menghasilkan kebingungan atau keraguan pada nilai/value.

Teori Dewey menawarkan sebuah alternatif pembelajaran dengan ruang kebebasan berpikir yang berangkat dari analisis barat, dengan nilai dan kebudayaan demokrasi liberal yang jelas berbeda dari nilai yang dianut negara Indonesia yang memiliki ideologi Demokrasi Pancasila. 

Nilai Demokrasi Pancasila dan Kebebasan Kritis dalam Pembelajaran  

Ideologi Demokrasi Pancasila bukanlah jalan tengah apalagi pilihan. Value atau nilai yang terkandung di dalamnya bukanlah sesuatu yang pantas untuk di pilah-pilih karena keseluruhan nilainya sudah baku dan sesuai dengan karakteristik bangsa, telah ada sejak mulanya dan menjadi hal yang mendasari cita-cita (bukan saja) pendidikan Indonesia yang visioner dan memerdekakan.

Demokrasi Pancasila meletakkan seluruh pemahaman demokrasi pada landasan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa; artinya terdapat pengakuan akan eksistensi Tuhan dalam proses pembelajaran. Hal inilah yang lepas dari kendali kebebasan kritis yang dibangun dalam teori Dewey.

Maka sejatinya, para guru yang menjadi agen dan pelaku pendidikan di Indonesia harus memiliki standar, batasan dan koridor nilai serta budaya yang bercirikan Demokrasi Pancasila dalam proses pembelajarannya sera penerapan pedagogi pendidkan nasional. Pancasila haruslah menjadi  kompas sekaligus jangkar yang kuat untuk menentukan arah kebebasan kritis dan merdeka belajar yang sedang diterapkan saat ini. *** 

Note: Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Teori Belajar - Dosen: Ibu Clara Evi Citraningtyas, Ph.D.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun