Mohon tunggu...
Shinta Harini
Shinta Harini Mohon Tunggu... Penulis - From outside looking in

Pengajar dan penulis materi pengajaran Bahasa Inggris di LIA. A published author under a pseudonym.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Papua yang Saya Kenal (Bagian 3: Ke Sekolah)

17 September 2021   21:06 Diperbarui: 25 Desember 2021   15:41 358
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari-hari pertama di sekolah rada kacau kalau dilihat dari segi akademik. Rupanya mereka sudah mulai ada ulangan2 walau tahun ajaran belum terlalu lama mulai. Saya masih ingat sekali nilai ulangan IPS saat itu 3, sedang IPA 4.

Boleh dong saya membela diri dengan bilang kalau untuk IPS saya jelas tidak menguasai karena misalnya soal-soal itu tentang pengetahuan peta Irian Jaya pada saat itu. Bagaimana saya bisa tahu nama-nama sungai, selat, maupun teluk di sana? Walaupun ada satu kesalahan yang semua orang pun akan setuju kalau itu kesalahan tolol. Masak jawaban saya untuk binatang khas di Irian itu sapi! Bagaimana saya lupa tentang burung cenderawasih? LOL!

Sedangkan nilai 4 untuk IPA tidak ada pembelaan diri sama sekali kecuali, yah, saya kan masih jetlag. Hehehe.

Lulus dari SD, seperti mayoritas teman-teman yang lain, saya melanjutkan ke SMP 1. Bisa dibilang ini sekolah unggulan pertama di Jayapura yang kebetulan juga tetangga dekat SD Kristus Raja. Tinggal naik tangga sedikit langsung sampai di belakang SMP 1 atau tepatnya penjual es buah yang segar sekali.

SMP 1 ini bertingkat tiga, tanahnya bukan gedungnya, pada saat itu. Deretan ruang kelas ada di bagian tengah dan bagian bawah, sedang naik lagi ada ruang perpustakaan. 

Saya lupa ada ruang apa lagi yang dekat perpustakaan. Di dataran paling bawah ada ruang yang berbentuk theater dengan deretan kursi bertingkat-tingkat. 

Sayangnya ruang itu tidak benar-benar digunakan dan sepertinya sudah sangat kuno dan berdebu. Saya memasuki ruangan itu untuk praktek mata pelajaran elektro.

Mata pelajaran olah raga kebanyakan kami lakukan di lapangan Mandala kecuali kalau sedang hujan. Masalahnya buat saya adalah ke dan dari Mandala teman-teman lebih memilih untuk mengambil jalan pintas lewat lereng dan semak-semak. Saya paling takut untuk naik-turun gunung walaupun jaraknya seharusnya tidak terlalu jauh. 

Tetapi tetap saja seraam. Saya selalu memohon beberapa teman untuk menemani mengambil jalan memutar lewat jalan raya. Kadang ada yang mau, tetapi seringnya tidak. Akhirnya terpaksa lewat jalan pintas walau harus diseret-seret.

Waktu kelas satu itu saya dapat kelas yang ruangannya paling ujung lumayan jauh dari kantor guru dan kepala sekolah. Alhasil kelas kami terkenal lumayan berisik dan bandel. Tidak jarang kami dapat giliran dijemur di bawah sinar matahari di depan kelas.

Kadang ada razia buku-buku pelajaran, buku catatan, dan lain-lain. Terus terang saja saya saat itu termasuk murid yang sering dapat ranking tinggi di kelas. Tidak heran kalau murid-murid lain menganggap saya itu murid alim. Jadi ketika razia buku dilancarkan dan ketika buku catatan saya ikut terjaring lantaran banyak hiasan-hiasan di dalamnya, karuan saja banyak orang yang heran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun